Monday, March 14, 2005

Hiperrealitas, Ketika Makna Memproduksi Realitas

Oleh Fajar Junaedi S.Sos, M.Si

Semiotika yang sudah sangat akrab dengan mahasiswa ilmu komunikasi, memiliki sejarah yang perkembangan panjang dalam abad 21. Bidang ini membantu kita melihat bagaimana tanda-tanda bahasa (signs) digunakan untuk menginterpretasi realitas di sekitar kita dan serempak pula dapat menjadi alat yang bermanfaat untuk menganalisis makna dari teks pesan media. Bagi kebanyakan orang, tanda bahasa diyakini memiliki kedudukan dan peran istimewa dalam media, dan teks media kemudian dalam banyak cara membentuk bagaimana tanda bahasa berfungsi untuk kita. Namun, kemudian berkembang pandangan yang menyatakan bahwa bukan realitas yang menghasilkan tanda bahasa, melainkan tanda bahasa-lah yang memproduksi realitas. Inilah yang kemudian dikenal sebagai semiotika poststrukturalis. Untuk lebih memahami hal ini kita akan mendiskusikannya secara lebih dekat dengan mendasarkan pada pemikiran kritikus sosial posmodernis Perancis Jean Baudrillard.
Baudrillard berkeyakinan bahwa tanda bahasa telah semakin terpisah dari objek yang mereka wakili dan bahwa media telah mendorong proses ini ke titik dimana tidak ada sesuatu yang nyata. Media melalui berbagai teks yang diproduksinya, tidak secara mendadak menciptakan kondisi ini, namun hal ini merupakan evolusi penggunaan tanda bahasa telah lama berlangsung sepanjang sejarah modern.
Penggunaan tanda bahasa telah berjalan melalui suatu evolusi yang kompleks dalam masyarakat. Pada mulanya, tanda bahasa adalah representasi sederhana dari suatu objek atau kondisi. Tanda bahasa memiliki hubungan yang jelas dan arbiter (arbitrary) dengan yang dilambangkan. Baudrillard ini mengemukakan perkembangan tanda bahasa melalui beberapa tahapan, yaitu pertama tahap urutan simbolis, yang sangat umum dalam masyarakat feodal. Pada tahap kedua, kepalsuan, yang dapat ditemui dalam dari masa Renaissance ke masa Revolusi Industri, lambang-lambang di anggap kurang berhubungan langsung dengan benda-benda dalam kehidupan. Tanda bahasa sebenarnya menghasilkan makna-makna baru dan bukan bagian alami dari pengalaman yang dilambangkan. Sebagai contoh, status, kekayaan, dan prestise dihubungkan ke benda karena cara mereka dilambangkan. Tahap ketiga, yaitu Revolusi Industri, adalah dari masa produksi mekanis dan massif mendominasi kehidupan manusia, di mana mesin-mesin ditemukan untuk menggantikan kerja manusia, membuat objek tidak tergantung dari penggunaan manusia sebagai pembuat lambang.
Dewasa ini kita sudah lepas dari ketiga periode tadi dan memasuki era simulasi (simulacrum), dimana lambang-lambang tidak lagi mewakili, namun sebaliknya malah memproduksi realitas bagi kita. Simulasi menentukan siapa dan apa yang akan dilakukan. Tidak ada lagi alat-alat untuk mewakili pengalaman kita, tanda bahasa yang melakukannya. Disneyland mencirikan era simulasi. Taman bertema adalah fantasi yang dibangun dari berbagai tanda bahasa. Kejadian sesungguhnya – bajak laut, perbatasan, dunia fantasi dan sebagainya- dapat direproduksi dimanapun dan kapanpun. Karena mereka mendominasi hidup kita, media yang baru membombardir kita dengan simulasi, dalam kenyataannya menciptakan hidup kita. Bukannya memiliki komunikasi yang asli melibatkan interaksi antar manusia, media mendominasi hidup kita dengan informasi yang membentuk apa yang kita persepsikan sebagai pengalaman yang asli, namun ia dibuang jauh dari urutan alami dari benda-benda. Ini membawa kita ke bentuk kehidupan yang dibesar-besarkan secara kasar. Kita merasa bahwa ini adalah pengalaman yang nyata, namun pada kenyataannya mereka adalah pengalaman di dalam simulasi yang dibuat dengan media.
Kebudayaan komoditas (commodity culture) kita adalah salah satu aspek dari simulasi dimana kita hidup. Lingkungan yang tersimulasi memberi tahu kita apa yang kita inginkan, ia membentuk selera, pilihan, kesukaan, dan kebutuhan kita. Konsumsi mengambil nilai-nilai di dalam dan darinya. Paling penting adalah bahwa kita mengkonsumsi, tidak bahwa kita menginginkan benda-benda nyata yang memiliki fungsi sebenarnya. Kita memikirkan bahwa kita berbeda, namun kenyataannya nilai-nilai kebanyakan orang dan tingkah lakunya sangat dibatasi oleh “kenyataan” yang disimulasikan oleh media. Kita memikirkan bahwa kebutuhan pribadi kita terpenuhi, namun itu hanyalah kebutuhan yang terhomogenisasi yang dibentuk oleh lambang-lambang di media.
Karena objek-objek dipisahkan dari keadaan alamiahnya mereka mangambil makna yang aneh untuk kita. Hidup kita dewasa ini dipenuhi oleh benda-benda yang tidak mempunyai kegunaan yang sebenarnya, namun lebih sebagai pajangan di etalase yang kita miliki dan lihat serta ujung-ujungnya membuat kehidupan yang murni “simbolisitas”. Kita membeli telepon genggam tidak lagi didasarkan manfaatnya sebagai alat komunikasi, namun untuk dipakai sebagai suatu bentuk atribut gaya hidup. Konsumsi telah beralih dari logika nilai guna (use value) menjadi nilai tanda (sign value).
Akhirnya, hasil dari proses simulasi ini, makna-makna jatuh dan mengumpul menjadi massa raksasa yang disebut Baudrilliard sebagai hiperrealitas. Ini adalah suatu proses pembesar-besaran, serupa bentuk propaganda. Bukannya membedakan antara yang baik dan buruk, cantik dan buruk rupa, kita mencampakan semua bersama-sama ke dalam suatu hyperreal.

Referensi

Baudrillard, Jean (1998). Consumer Society : Myths and Structure. London : Sage Publications

Littlejohn, Stephen W. (1996). Theories of Human Communication, 5th Edition. Belmont, Wadsworth Publising Company. Chapter 11 hal. 234 – 236

Mengenal Representasi, Memahami Realitas Media

Oleh Fajar Junaedi S.Sos, M.Si

Representasi (representation) sebagaimana dikemukakan oleh Tim O’Sullivan dkk dipahami sebagai “the social process of representing; representations are the products of the social process of representing” (O’Sullivan dkk, 1995 : 265). Representasi dalam konteks ini dapat juga dipahami sebagai “produksi makna dari konsep-konsep yang terdapat dalam pikiran manusia melalui bahasa”. Lebih lanjut representasi dapat dijelaskan sebagai “menghubungkan antara konsep-konsep dan bahasa yang membuat manusia mampu untuk merujuk dunia obyek-obyek, orang-orang, dan kejadian-kejadian yang bersifat ‘nyata’ atau bahkan dunia obyek-obyek, orang-orang dan kejadian-kejadian fiksional yang bersifat imajiner”(Hall dalam Hall [ed], 1997 : 17).
Dalam studi yang dilakukan oleh Graeme Burton mengenai representasi sebagaimana termuat dalam bukunya Talking Television : An Introduction to The Study of Television, representasi dapat dipahami tatkala berfungsi secara ideologis dalam memproduksi relasi sosial yang berbentuk dominasi dan eksploitasi (Burton, 2000 : 104). Dalam pandangan Burton ada beberapa hal yang perlu dimengerti berkaitan dengan representasi sehingga relasi sosial yang berwujud dominasi dan eksploitasi ini terbentuk, yaitu stereotype, identity, difference, naturalization dan yang tidak bisa dilupakan pula adalah ideologi.
Dari berbagai uraian di atas dapat ditarik suatu penegasan bahwa dalam representasi itu sendiri, ada beberapa persoalan krusial yang mumcul ke permukaan. Namun, hal paling utama yang layak ditarik sebagai satu persoalan adalah bagaimana representasi yang dilakukan media terhadap dunia sosial dibandingkan dengan dunia “nyata” yang sifatnya eksternal? Pada hakikatnya memang ada problematika antara “realitas sosial” yang kita alami sehari-hari dengan “realitas media” yang membentuk kesadaran dan cara kita berpikir. Sejumlah problem yang harus dipahami dari persoalan representasi ini adalah:
Pertama, representasi adalah hasil dari suatu proses seleksi yang mengakibatkan bahwa ada sejumlah aspek dari realitas yang ditonjolkan serta ada sejumlah aspek lain yang dimarjinalisasi. Hal ini mengandung implikasi bahwa seluruh representasi berarti “penghadiran kembali” dunia sosial yang kemudian membawa implikasi bahwa hasil dari suatu representasi pasti akan bersifat sempit dan tidak lengkap. Kedua, apa yang dinamakan dengan dunia yang ”nyata” itu sendiri layak untuk dipermasalahkan. Dalam hal ini menarik untuk mengemukakan pandangan dari kalangan pemikir konstruksionisme yang memberi satu penegasan bahwa tidak ada satu pun representasi dari realitas yang secara keseluruhan pastilah “benar” dan “nyata”. Misalnya dalam pemberitaan di media dalam kasus kenaikan BBM dan Ambalat, sebagian media memilih lebih mem-blow up kasus kenaikan BBM, sedangkan yang lainnya lebih memilih memberitakan kasus pertikaian Blok Ambalat dalam porsi pemberitaan yang lebih besar. Ini disebabkan wartawan dan redaksi sebelumnya sudah membingkai ( frame) suatu isu dan memilih untuk memasukkan atau menyingkirkan komponen-komponen tertentu dari realitas yang mempunyai banyak sisi-sisinya (multifaceted). Ketiga, dalam benak khalayak sendiri terdapat suatu pemikiran yang menyatakan bahwa media tidaklah harus merefleksikan realitas. Sebab, dalam hal ini, media, terutama televisi dan film yang dipenuhi hiburan, sekadar dianggap sebagai tempat pelarian (escape) dari realitas kehidupan sehari-hari. Yang paling jelas adalah tingginya rating sinetron yang berlatar belakang kehidupan kelas atas daripada sinetron yang mengetengahkan kehidupan kelas bawah (Kompas, 13 Maret 2005). Jadi, apa realitas media itu “nyata” atau tidak, memang menjadi tidak relevan untuk dibicarakan, karena ketika realitas diangkat ke dalam media tidak mungkin keseluruhan realitas digambarkan secara terperinci dari berbagai perspektif. Yang ada kemudian terjadi ketika realitas diangkat dalam satu media hanyalah representasi, yang mengandung implikasi ada hal-hal tertentu dari realitas yang dihilangkan atau ditambah.


Referensi

Burton, Graeme (2000). Talking Television : An Introduction to The Study of Television. London : Arnold

Hall, Stuart (1997). “The Work of Representation” dalam Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. New Delhi : Sage Publication

O’Sullivan, Tim; Hartley, John, Saunders, Danny; Montgomery, Martin; Fiske, John. (1995). Key Concepts in Communication and Cultural Studies, 2nd Edition. London : Routledge