Tuesday, May 17, 2005

Pascakolonialisme di Sekitar Kita

Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si


Word is born
Fight the war, fuck the norm
Now I got no patience
So sick of complacence
With the DEFIANCE
……
What? The land of the free?
However told you that is your enemy
Something must be done
About vengeance, a bagde and a gun
‘Cause I’ll rip the mike, rip the stage, rip the system
I was born to rage against ‘em

(Rage Against The Machine,Know Your Enemy,1992)


Menurut Marx dan Engels (Storey [ed], 1994:196), dengan penguasaan kekuatan material dalam masyarakat, kelas yang berkuasa akan menguasai kekuatan intelektual. Artinya ide-ide kelas yang berkuasa (ruling class) akan sekaligus menjadi ide-ide yang berkuasa (ruling ideas). Sehingga kemudian Gramsci (Storey [ed],1994:215), menyatakan bahwa kelas sosial menjalankan kekuasaannya melalui dua metode yaitu : melalui dominasi dan kepemimpinan moral dan intelektual, yang diistilahkan oleh Gramsci sebagai hegemoni (hegemony).
Dengan konsep hegemoni ini Gramsci sekaligus menyatakan jika relasi kultural dan ideologi antara kelas yang berkuasa dan kelas subordinat dalam masyarakat kapitalis lebih berupa hegemoni, bukan dominasi (Bennet dalam Storey [ed],1994: 225). Kepemimpinan moral dan intelektual ini membuka jalan bagi perluasan konsep kelas dengan tidak lagi semata berdasarkan basis-superstruktur yang bersifat deterministik pada basis ekonomi dengan hanya melihat hubungan kelas hanya antara kelas kapitalis dan proletariat. Konfigurasi kelas kemudian melebar dalam konfigurasi gender, ras, generasi, teritori, etnis dan budaya. Namun suatu golongan sosial seperti di atas dapat dianggap sebagai kelas jika secara subyektif menyadari diri mereka sebagai satu kelas, yaitu sebuah golongan khusus dalam masyarakat yang mempunyai kepentingan spesifik dan mau memperjuangkan kepentingan spesifik yang mereka miliki dan bukan hanya secara obyektif merupakan golongan sosial dengan kepentingannya sendiri (Magnis-Suseno, 1999:122).
Namun, kapitalisme lanjut (late capitalism) dan globalisasi ekonomi telah mengubah wajah dunia, dengan wajah yang tentu saja jauh berbeda saat Marx dan Engels menuliskan tesis-tesis mereka. Dunia terbagi menjadi dua kutub besar, yaitu Dunia Pertama yang menikmati nikmatnya eksploitasi mereka dalam masa kolonialisme dan Dunia Ketiga yang masih saja menderita setelah kolonialisme secara administratif angkat kaki. Di Dunia Ketiga inilah negara-negara di Benua Asia dan Afrika menjadi mayoritas pengisinya.
Gemuruh globalisasi telah mengakibatkan perlunya dialektika terhadap tesis-tesis yang dikemukan Marx lebih dari satu setengah abad yang lalu. Di negara maju di belahan Dunia Pertama, misalnya, para petani bisa menjadi kelas yang paling militan (Magnis-Suseno, 1999: 144). Suatu kondisi yang berbeda sekali dengan tesis Marx yang menyatakan petani bukanlah suatu kelas yang revolusioner. Sedangkan di negara-negara berkembang, kapitalisme masih berkutat dengan coraknya yang masih semu (ersant capitalism). Kelas kapitalis di Dunia Ketiga besar karena dukungan sepenuhnya oleh aristokrat dan birokrat. Seperti yang terjadi di Genoa, Italia pada bulan Agustus 2001 saat gerakan anti kapitalisme global yang disimbolkan dengan IMF, World Bank, G 8 dan WTO bergerak secara massif memprotes globalisasi yang disponsori negara-negara maju. Menariknya, aksi massa ini, bukan hanya diikuti oleh para buruh industri dan tani dari negara- negara berkembang namun juga dipelopori oleh para petani dari negara maju.
Globalisasi ekonomi dan perdagangan secara substansial telah mengubah dimensi dan struktur perusahaan, pasar dan hubungan industrial serta penanaman modal. Produktifitas di beberapa negara, terutama negara maju meningkat namun keuntungan-keuntungan itu tidak didistribusikan secara adil dan terjadinya ketidakadilan distribusi inilah yang menyebabkan terjadinya pergerakan massa petani di negara maju, yang tidak menikmati keuntungan dibanding kelas lainnya, dalam gerakan massa yang militan dan massif.
Para buruh juga menghadapi kondisi bak buah simalakama. Upah yang rendah diiringi semakin mahalnya harga kebutuhan pokok yang meroket sebagai akibat dicabutnya subsidi BBM, membawa kehidupan yang semakin menyusahkan mereka. Letter of Intent antara Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) telah menerpurukan kaum yang layak menjadi barisan pelopor (vanguard) ini. Pengusaha kecil juga harus bersaing dengan Trans National Corporations (TNCs) yang menggurita tiada terbendung. Menuruti hukum konsentrasi modal, modal akan selalu bergerak dari kapitalis kecil menuju kapitalis besar.
Ketidakseimbangan ini menjadikan kesenjangan teknologi informasi antara Dunia Pertama dan Ketiga semakin akut. Padahal menurut Anthony Giddens, evolusi sistem komunikasi adalah pusat perhatian untuk memahami masyarakat modern (Stevenson, 1997:133). Artinya modernitas masih berkitar pada negara-negara Barat saja.
Perkembangan media komunikasi berelasi erat dengan masyarakat yang massif. Konglomerasi media Barat, khususnya yang terjadi di Amerika dengan kapital yang sangat besar seperti CNN yang merger dengan Time Warner mampu berkembang menguasai wacana yang berkembang, apalagi jika kemudian dihadapkan dengan negara ketiga dengan kapital yang jauh lebih kecil. Inilah yang dikatakan oleh Cess Hamelink sebagai ketidakseimbangan informasi antara negara inti dengan negara pinggir (information imbalance between core and periphery). Ketidakseimbangan ini lalu menjadi masalah krusial dalam hubungan internasional antara negara pinggir yang masih mengalami postcolonial subject. Nilai dan ide baru sebagai bentuk budaya baru dibawa dan diperkenalkan kepada negara pinggir oleh negara inti semenjak kolonialisme masih eksis sampai masa-masa setelah mereka angkat kaki dilestarikan terus sampai sekarang (Hamelink dalam Downing [ed], 1990 : 224).
Ali Mohammadi menyatakan bahwa saat ini dunia berada dalam kondisi postimperialist. Memang banyak negara-negara baru yang bermunculan, terutama di Afrika, Timur Tengah dan Asia, namun dominasi ekonomi Barat masih bercokol di negara-negara ketiga. Pembangunan di negara-negara ketiga sulit terlepas dari peran negara Barat, dan pada perkembangannya dalam konteks budaya hal ini melahirkan jenis baru imperialisme yang dikenal sebagai dependency cultural dan cultural imperialism (Mohammadi dalam Downing [ed], 1990 : 268-269). Saat kekuatan imperialisme angkat kaki dari negara jajahan dan mengakhiri kekuasaan ekonomi dan politiknya bukan berarti pengaruh mereka berakhir begitu saja. Rage Against The Machine menggambarkan hal ini dalam lirik lagu Wind Below (1996),
And GE is gonna flex and try and annex the truth
And NBC is gonna flex and cast their image in you
And Disney bought the fantacies and piles of eyes
And ABC’s new thrill rides of trials and lies

GE (General Electric), NBC (National Broadcasting Corporation), Disney dan ABC (American Broadcasting Corporation) adalah ikon-ikon konglomerasi media Amerika yang secara political economy didominasi eksekutif media yang bekerja secara profesional untuk tujuan profit, namun profesionalisme ini tidak lepas dari ikatan yang erat dan saling menguntungkan antara kalangan bisnis dan pemerintah Amerika Serikat (Herman dalam Downing [ed], 1990 : 287). Tesis cultural imperialism juga menyatakan bahwa budaya lokal yang authentic dan tradisional di berbagai belahan dunia sudah kehilangan eksistensinya oleh beragam produk budaya Amerika yang menjadi puncak hegemoni Dunia Pertama yang bersifat komersial yang membanjiri pasar (Tunstall dalam Lazare [ed], 1987 : 546).
Sebagai contoh lain bagaimana pascakolonialisme masih mengakar kuat, ada baiknya kita memakai konsep mimikri. Agar lebih konkret kita akan memakai novel Sitti Nurbaya dan Student Hidjo sebagai ilustrasi singkat dengan menggunakan konsep mimikri sebagai pintu masuk ke dalam pergulatan kontradiksi pascakolonial dalam novel tersebut dengan melakukan intertekstualitas di antara keduanya. Setidaknya aliran dalam novel Indonesia dapat diwakili oleh Sitti Nurbaya yang mewakili novel Balai Pustaka sebagai sebuah aliran mainstream, dan Student Hidjo yang non-Balai Pustaka. Konsep mengenai mimikri pertama kali dikemukakan oleh Homi Bhabha, yang menyatakan bahwa mimikri atau peniruan bertolak dari kontradiksi yang paling inti dalam wacana pascakolonial, terutama terjadi sejak kalangan intelektual generasi baru di negara-negara jajahan mendapatkan kesempatan untuk mengeyam pendidikan di negara-negara penjajah. Penyebaran pendidikan Barat diharapkan dapat memperkokoh kekuasaan kolonial dengan terciptanya sebuah golongan dalam masyarakat kolonial yang sama-sama mengidentifikasikan dirinya seperti halnya kaum penjajah (Foulcher, 1999 : 15).
Pergulatan mimikri yang sering dimunculkan dalam kontradiksi pascakolonial dalam novel Indonesia adalah pergulatan antara modernitas dengan kekolotan adat. Sitti Nurbaya mengawali pergulatan modernitas melalui kebimbangan Sitti Nurbaya untuk memilih Samsu, yang merepresentasikan modernitas atau Datuk Maringgih, yang merepresentasikan kekolotan adat feodalisme. Novel terkenal yang berada di luar penerbitan Balai Pustaka, Student Hidjo, yang terbit tidak lama dengan Sitti Nurbaya, karangan Mas Marco Kartodikromo menampilkan pendidikan Barat sebagai pembuka kesadaran kelas masyarakat pribumi untuk mencapai kemerdekaan. Artinya Barat masih dianggap sebagai sesuatu yang harus diikuti.

*Paper serupa dengan versi yang lain pernah disajikan di Seminar Sehari dengan tema “KTT Asia Afrika : Konsolidasi Kerakyatan Upaya Mendorong Kekuatan Negara Dunia Ketiga Melawan Nekolim” di Auditorium Universitas Janabadra. Rabu 20 April 2005.

Mengenal Strukturalisme, Memahami Levi-Strauss, Membaca Mitos Modern

Oleh Fajar Junaedi S.Sos, M.Si *

Sebelum memasuki alam pemikiran Jean Claude Levi-Strauss ada baiknya kita menengok ke generasi awal alam pemikiran strukturalisme yang selama ini dianggap banyak berhutang pada pemikiran Levi-Strauss, dan bahkan ia dianggap sebagai pelanjut strukturalisme yang telah dirintis oleh Ferdinand de Saussure. Kata “struktur” yang menjadi kata dasar dari strukturalisme dapat dengan mudah kita pahami dengan memakai semiotika (semiotics) atau semiologi (semiology) yang dikembangkan secara brilian oleh Saussure. Semiotika sendiri ada awalnya diterapkan pada kebahasaan dan serempak pula merupakan pendekatan struktural tentang bahasa.
Semiotika secara terminologi berasal dari bahasa Yunani yaitu semieon, yang berarti tanda. Dalam semiotika ada beberapa aturan pokok yang mengatur sistem tanda bahasa, sehingga dari sinilah kemudian lahir strukturalisme. Pertama, menurut Saussure, sebuah tanda khususnya tanda kebahasaan, merupakan entitas psikologis yang bersisi dua atau berdwimuka, terdiri dari unsur penanda (signifier) dan petanda (signified). Kedua elemen tanda-tanda itu sungguh-sungguh menyatu dan saling tergantung satu sama lain. Kombinasi dari keduanya inilah yang kemudian menghasilkan tanda (sign).
Relasi antara penanda dengan petanda terjadi begitu saja dan arbitrer. Karena itu kita perlu mengetahui kode-kode yang menyatakan kepada kita apa yang dimaknakan oleh tanda-tanda. Kode (code) adalah satu sitem dari konvensi-konvensi yang memungkinkan kepada seseorang untuk mendeteksi arti dalam tanda-tanda karena hubungan (Berger, 2000 : 219 ).
Kedua adalah langue dan parole. Langue dapat diartikan sebagai penggunaan tanda bahasa secara umum atau oleh publik yang menyepakatinya, sedangkan parole adalah pemakaian tanda bahasa di tangan individu. Inilah yang membedakan kajian strukturalisme yang dikembangkan oleh Saussure dengan pendekatan linguistic yang lain, di mana pendekatan linguistic yang lain hanya berhenti pada tataran langue (Bertens, 2001 : 182). Saussure mengilustrasikan relasi keduanya dengan memakai permainan catur sebagai sebuah contoh. Kuda dalam permainan catur memiliki gerak berbentuk huruf “L”. Ini dapat dianggap sebagai parole dari sebuah sistem struktur. Individu yang bermain catur bebas untuk menggerakan kuda dalam bentuk huruf “L” baik ke kiri, ke kanan, ke depan atau ke belakang. Yang penting masih dalam bentuk huruf “L”. Ini dapat dianggap sebagai parole. Yang perlu diingat kebebasan menggerakan kuda ini terstruktur dalam huruf “L” dan tidak boleh keluar dari aturan ini karena jika bergerak selain gerak “L” maka hancurlah struktur permainan catur.
Tahap abstraksi yang secara umum terdapat dalam studi semiotika adalah kajian sintaksis atau sintagmatik, yang kemudian dilanjutkan dengan kajian semantik dan pragmatis. Kajian sintaksis menurut Morris merupakan sub bagian dari semiotika yang mempelajari kaidah – kaidah yang mengendalikan tuturan dan interpretasi. Sehingga sintaksis berusaha mengkaji hubungan tanda-tanda dan bagaimana cara mereka bekerja sama untuk menjalankan fungsinya.
Selanjutnya menurut Morris, semantik merupakan aspek semiotika yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda dan obyek yang diacunya atau makna tanda-tanda sebelum digunakan di dalam tuturan tertentu (Budiman, 1999 : 107). Dengan demikian semantik berusaha mengungkapkan hubungan tanda-tanda dengan acuannya dan dengan interpretasi yang dihasilkan. Sedangkan kajian pragmatis atau paradigmatik mementingkan pada hubungan tanda-tanda dengan interpreternya, baik pengirim maupun penerima tanda bahasa (Budiman, 1999 : 95).
Kemudian dengan analisis pragmatis dapat diketahui pola oposisi yang terdapat dalam teks. Oposisi yang digunakan adalah pola oposisi biner (binary opposition) yang menjadi basis dari penciptaan oposisi dalam bahasa (Berger, 2000 :17).
Di tangan Levi-Strauss, strukturalisme berkembang dengan mengagumkan dan sempat menjadi trend of thought di Perancis, dan bahkan Eropa di tahun 1960-an bersama pemikiran strukturalisme yang dikembangkan oleh Louis Althusser. Tidak mengherankan jika kemudian ia mendapat julukan sebagai Bapak Strukturalisme Perancis.
Bagi Levi-Strauss analisis sintagmatik pada teks memperlihatkan makna yang manifest (nyata-nampak) dan analisis paradigmatic teks akan mampu membongkar makna yang laten (tersembunyi) di balik teks. Struktur yang nampak dari teks terdiri dari apa yang ada dalam teks, sedangkan struktur laten berisi teks tersebut berbicara apa. Dengan bahasa yang lain, tatkala kita menggunakan pendekatan paradigmatik, kita sebagai pembaca tidak terlalu menaruh perhatian dengan apa yang dikerjakan oleh karakter dalam teks, tetapi lebih pada apa yang dimaksudkan oleh teks tersebut.
Dalam biografinya, Levi-Strauss mengungkapkan ada tiga guru yang mempengaruhi alam pemikiran yang dikembangkannya, yaitu filsafat Karl Marx, psikoanalisis Sigmud Freud dan ilmu geologi. ia mencoba menerapkan proyek strukturalismenya ke dalam antropologi. Fonologi, yang menjadi penanda khas pemikirannya, terutama ditandai dengan tiga ciri yang kesemuanya dapat dimanfaatkan dalam ilmu antropologi. Pertama, sebagaimana bahasa seluruhnya merupakan sistem tanda tanda, demikian pula dengan unsur-unsur bahasa yang disebut fonem-fonem merupakan suatu sistem yang terdiri dari relasi-relasi dan oposisi-oposisi. Inilah yang kemudian dikenal dalam strukturalisme sebagai oposisi biner, seperti alami/budaya, hitam/putih, laki-laki/perempuan dan sebagainya. Kedua, sistem itu harus dipelajari secara sinkronis sebelum orang memahami secara diakronis. Ketiga, hukum-hukum linguistik memperlihatkan suatu tahap tak sadar (unconscious). Hukum-hukum tata bahasa umpamanya diterapkan orang tanpa ragu-ragu. Padahal orang tidak mengenal hukum-hukum itu secara sadar (Bertens, 2001 : 193).
Sumbangan pemikirannya yang terkenal adalah berkaitan dengan mitologi. Dalam usahanya melakukan interpretasi terhadap mitos , Levi-Strauss membedakan unsur-unsur elementer dalam setiap mitos. Unsur elementer yang dinamakannya sebagai mythemme (mitem/katakanlah). Dalam mitos mengenai oidipus, sebuah mitos yang mengilhami Freud dalam menelurkan istilah oidipus complex, dijelaskan oleh Levi-Strauss sebagai berikut. Bahwa oidipus membunuh ayahnya, boleh dianggap sebagai suatu mitem tersendiri. Dan bahwa kemudian oidipus menikahi ibunya merupakan mitem yang lain. Interpretasi berlangsung dengan merelasikan berbagai hubungan dan oposisi-oposisi antara unsur-unsur elementer tersebut. Dalam hal ini ditekankan olehnya bahwa dalam melakukan pembacaan terhadap mitos tidak hanya boleh dibaca seperti saat kita membaca buku, dari kiri ke kanan, tetapi harus dibaca juga dari atas ke bawah (Bertens, 2001 : 200).
Pengaruh pemikiran Levi-Strauss ternyata bukan hanya bergaung di Eropa daratan saja, melainkan berpengaruh luas di dalam tradisi Anglo-Saxon termasuk di Amerika Serikat. Dengan memakai strukturalisme Levi-Strauss, Will Wright menggambarkan narasi yang dibangun artefak budaya Amerika Serikat dalam struktur oposisi biner sebagai berikut,
Inside Society Vs Outside Society
Good Vs Bad
Strong Vs Weak
Civilizations Vs Wilderness

(Dikutip dari Storey, 1993 : 74).

Narasi yang demikian dapat dengan mudah kita jumpai dalam berbagai film Hollywood yang selalu menggambarkan Dunia Timur sebagai “yang lain” (the other) atau outside society sedangkan masyarakat Barat sebagai inside society. Struktur demikian telah menjadi mitos modern dalam berbagai artefak budaya yang dihasilkan masyarakat Barat, termasuk yang paling mudah ditemui adalah representasi Dunia Timur ketika berhadapan Dunia Barat dalam film Hollywood. Rambo misalnya digambarkan sebagai seorang pahlawan yang baik hati dan kuat, sedangkan tentara Vietnam yang menjadi musuh Rambo direpresentasikan sebagai pihak yang jahat dan berperadaban.
Demikian pula ketika kita melakukan intertekstualitas (intertextuality), maka struktur demikian juga dapat ditemui dalam pemberitaan di media massa Barat yang selalu menggambarkan Dunia Timur sebagai teroris yang berperikemanusiaan ketika terlibat konflik dengan pihak Barat. Dengan memakai pendekatan Levi-Strauss, agaknya struktur yang demikian telah menjadi langue dalam mitos modern masyarakat Barat.

* Makalah dengan tema serupa pernah disajikan untuk Kajian Teori Sosial Strukturalisme (Studi Pemikiran Levi-Strauss) di Madrasah Intelektual Muhammadiyah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah AR Fakhrudin, Sabtu 16 April 2005.

Khalayak Aktif versus Khalayak Pasif

Oleh : Fajar Junaedi M.Si*

Perdebatan mengenai tipologi khalayak (audience) yang cukup dilematis dalam perkembangan kajian komunikasi massa adalah polemik mengenai tipologi khalayak pasif berhadapan dengan khalayak aktif. Pandangan khalayak pasif memahami bahwa masyarakat dapat dengan mudah dipengaruhi oleh arus langsung dari media, sedangkan pandangan khalayak aktif menyatakan bahwa khalayak memiliki keputusan aktif tentang bagaimana menggunakan media. Selama ini yang terjadi dalam studi komunikasi massa, teori masyarakat massa lebih memiliki kecenderungan untuk menggunakan konsepsi teori khalayak pasif, meskipun tidak semua teori khalayak pasif dapat dikategorisasi sebagai teori masyarakat massa. Demikian juga, sebagian besar teori komunitas yang berkembang dalam studi komunikasi massa lebih cenderung menganut kepada khalayak aktif.
Wacana di atas berelasi dengan pelbagai teori pengaruh media yang berkembang setelahnya. Teori “pengaruh kuat” seperti teori peluru (bullet theory) yang ditimbulkan media lebih cenderung untuk didasarkan pada khalayak pasif, sedangkan teori “pengaruh minimal” seperti uses and gratification theory lebih banyak dilandaskan pada khalayak aktif.
Dalam kajian yang dilakukan oleh Frank Biocca dalam artikelnya yang berjudul ”Opposing Conceptions of the Audience : The Active and Passive Hemispheres of Communication Theory” (1998), yang kemudian diakui menjadi tulisan paling komprehensif mengenai perdebatan tentang khalayak aktif versus khalayak pasif, ditemukan beberapa tipologi dari khalayak aktif.
Pertama adalah selektifitas (selectivity). Khalayak aktif dianggap selektif dalam proses konsumsi media yang mereka pilih untuk digunakan. Merka tidak asal-asalan dalam mengkonsumsi media, namun didasari alasan dan tujuan tertentu. Misalnya, kalangan bisnis lebih berorientasi mengkonsumsi Majalah Swasembada dan Harian Bisnis Indonesia untuk mengetahui perkembangan dunia bisnis, penggemar olahraga mengkonsumsi Tabloid Bola untuk mengetahui hasil berbagai pertandingan olah raga dan sebagainya.
Karakteristik kedua adalah utilitarianisme (utilitarianism) di mana khalayak aktif dikatakan mengkonsumsi media dalam rangka suatu kepentingan untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan tertentu yang mereka miliki.
Karakteristik yang ketiga adalah intensionalitas (intentionality), yang mengandung makna penggunaan secara sengaja dari isi media. Karakteristik yang keempat adalah keikutsertaan (involvement) , atau usaha. Maksudnya khalayak secara aktif berfikir mengenai alasan mereka dalam mengkonsumsi media.
Yang kelima, khalayak aktif dipercaya sebagai komunitas yang tahan dalam menghadapi pengaruh media (impervious to influence), atau tidak mudah dibujuk oleh media itu sendiri (Littlejohn,1996 : 333).
Khalayak yang lebih terdidik (educated people) cenderung menjadi bagian dari khalayak aktif, karena mereka lebih bisa memilih media yang mereka konsumsi sesuai kebutuhan mereka dibandingkan khalayak yang tidak terdidik.
Kita bisa melihat tipologi khalayak pasif dan khalayak aktif ini dari konsumsi media cetak masyarakat di sekitar kita. Media cetak kriminal, seperti Pos Kota dan Lampu Merah di Jakarta, Meteor di Jawa Tengah, Koran Merapi di Yogyakarta dan Memorandum di Jawa Timur sangat populer di kalangan menengah ke bawah. Berbagai harian ini dapat dengan mudah dijumpai di lapak-lapak koran yang bersebaran di pinggir jalan dengan konsumen yang didominasi kalangan menengah ke bawah. Mereka mengkonsumsi media di atas dengan selektivitas yang menimal dan tujuan yang tidak begitu jelas. Berbeda dengan kalangan menengah ke atas yang lebih terdidik yang mengkonsumsi media massa dengan tujuan tertentu secara selektif. Misalnya, mereka yang aktif dalam kegiatan perekonomian tentu akan lebih memilih Bisnis Indonesia dibanding memilih media lain. Alasan mereka memilih media ini tentu saja karena harian ini lebih banyak mengupas masalah ekonomi dan dunia usaha yang berhubungan langsung dengan kehidupan mereka sehari-hari.
Namun mayoritas ahli komunikasi massa dewasa ini lebih meyakini bahwa komunitas massa dan dikotomi aktif-pasif merupakan konsep yang terlalu sederhana atau deterministik, karena konsep-konsep di atas tidak mampu menelaah kompleksitas sebenarnya dari khalayak. Bisa jadi pada saat tertentu khalayak menjadi khalayak aktif, namun pada saat yang lain mereka menjadi khalayak pasif, sehingga pertanyaannya kemudian bergeser lebih jauh mengenai kapan dan dalam situasi apa khalayak menjadi lebih mudah terpengaruh.