Pascakolonialisme di Sekitar Kita
Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si
Word is born
Fight the war, fuck the norm
Now I got no patience
So sick of complacence
With the DEFIANCE
……
What? The land of the free?
However told you that is your enemy
Something must be done
About vengeance, a bagde and a gun
‘Cause I’ll rip the mike, rip the stage, rip the system
I was born to rage against ‘em
(Rage Against The Machine,Know Your Enemy,1992)
Menurut Marx dan Engels (Storey [ed], 1994:196), dengan penguasaan kekuatan material dalam masyarakat, kelas yang berkuasa akan menguasai kekuatan intelektual. Artinya ide-ide kelas yang berkuasa (ruling class) akan sekaligus menjadi ide-ide yang berkuasa (ruling ideas). Sehingga kemudian Gramsci (Storey [ed],1994:215), menyatakan bahwa kelas sosial menjalankan kekuasaannya melalui dua metode yaitu : melalui dominasi dan kepemimpinan moral dan intelektual, yang diistilahkan oleh Gramsci sebagai hegemoni (hegemony).
Dengan konsep hegemoni ini Gramsci sekaligus menyatakan jika relasi kultural dan ideologi antara kelas yang berkuasa dan kelas subordinat dalam masyarakat kapitalis lebih berupa hegemoni, bukan dominasi (Bennet dalam Storey [ed],1994: 225). Kepemimpinan moral dan intelektual ini membuka jalan bagi perluasan konsep kelas dengan tidak lagi semata berdasarkan basis-superstruktur yang bersifat deterministik pada basis ekonomi dengan hanya melihat hubungan kelas hanya antara kelas kapitalis dan proletariat. Konfigurasi kelas kemudian melebar dalam konfigurasi gender, ras, generasi, teritori, etnis dan budaya. Namun suatu golongan sosial seperti di atas dapat dianggap sebagai kelas jika secara subyektif menyadari diri mereka sebagai satu kelas, yaitu sebuah golongan khusus dalam masyarakat yang mempunyai kepentingan spesifik dan mau memperjuangkan kepentingan spesifik yang mereka miliki dan bukan hanya secara obyektif merupakan golongan sosial dengan kepentingannya sendiri (Magnis-Suseno, 1999:122).
Namun, kapitalisme lanjut (late capitalism) dan globalisasi ekonomi telah mengubah wajah dunia, dengan wajah yang tentu saja jauh berbeda saat Marx dan Engels menuliskan tesis-tesis mereka. Dunia terbagi menjadi dua kutub besar, yaitu Dunia Pertama yang menikmati nikmatnya eksploitasi mereka dalam masa kolonialisme dan Dunia Ketiga yang masih saja menderita setelah kolonialisme secara administratif angkat kaki. Di Dunia Ketiga inilah negara-negara di Benua Asia dan Afrika menjadi mayoritas pengisinya.
Gemuruh globalisasi telah mengakibatkan perlunya dialektika terhadap tesis-tesis yang dikemukan Marx lebih dari satu setengah abad yang lalu. Di negara maju di belahan Dunia Pertama, misalnya, para petani bisa menjadi kelas yang paling militan (Magnis-Suseno, 1999: 144). Suatu kondisi yang berbeda sekali dengan tesis Marx yang menyatakan petani bukanlah suatu kelas yang revolusioner. Sedangkan di negara-negara berkembang, kapitalisme masih berkutat dengan coraknya yang masih semu (ersant capitalism). Kelas kapitalis di Dunia Ketiga besar karena dukungan sepenuhnya oleh aristokrat dan birokrat. Seperti yang terjadi di Genoa, Italia pada bulan Agustus 2001 saat gerakan anti kapitalisme global yang disimbolkan dengan IMF, World Bank, G 8 dan WTO bergerak secara massif memprotes globalisasi yang disponsori negara-negara maju. Menariknya, aksi massa ini, bukan hanya diikuti oleh para buruh industri dan tani dari negara- negara berkembang namun juga dipelopori oleh para petani dari negara maju.
Globalisasi ekonomi dan perdagangan secara substansial telah mengubah dimensi dan struktur perusahaan, pasar dan hubungan industrial serta penanaman modal. Produktifitas di beberapa negara, terutama negara maju meningkat namun keuntungan-keuntungan itu tidak didistribusikan secara adil dan terjadinya ketidakadilan distribusi inilah yang menyebabkan terjadinya pergerakan massa petani di negara maju, yang tidak menikmati keuntungan dibanding kelas lainnya, dalam gerakan massa yang militan dan massif.
Para buruh juga menghadapi kondisi bak buah simalakama. Upah yang rendah diiringi semakin mahalnya harga kebutuhan pokok yang meroket sebagai akibat dicabutnya subsidi BBM, membawa kehidupan yang semakin menyusahkan mereka. Letter of Intent antara Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) telah menerpurukan kaum yang layak menjadi barisan pelopor (vanguard) ini. Pengusaha kecil juga harus bersaing dengan Trans National Corporations (TNCs) yang menggurita tiada terbendung. Menuruti hukum konsentrasi modal, modal akan selalu bergerak dari kapitalis kecil menuju kapitalis besar.
Ketidakseimbangan ini menjadikan kesenjangan teknologi informasi antara Dunia Pertama dan Ketiga semakin akut. Padahal menurut Anthony Giddens, evolusi sistem komunikasi adalah pusat perhatian untuk memahami masyarakat modern (Stevenson, 1997:133). Artinya modernitas masih berkitar pada negara-negara Barat saja.
Perkembangan media komunikasi berelasi erat dengan masyarakat yang massif. Konglomerasi media Barat, khususnya yang terjadi di Amerika dengan kapital yang sangat besar seperti CNN yang merger dengan Time Warner mampu berkembang menguasai wacana yang berkembang, apalagi jika kemudian dihadapkan dengan negara ketiga dengan kapital yang jauh lebih kecil. Inilah yang dikatakan oleh Cess Hamelink sebagai ketidakseimbangan informasi antara negara inti dengan negara pinggir (information imbalance between core and periphery). Ketidakseimbangan ini lalu menjadi masalah krusial dalam hubungan internasional antara negara pinggir yang masih mengalami postcolonial subject. Nilai dan ide baru sebagai bentuk budaya baru dibawa dan diperkenalkan kepada negara pinggir oleh negara inti semenjak kolonialisme masih eksis sampai masa-masa setelah mereka angkat kaki dilestarikan terus sampai sekarang (Hamelink dalam Downing [ed], 1990 : 224).
Ali Mohammadi menyatakan bahwa saat ini dunia berada dalam kondisi postimperialist. Memang banyak negara-negara baru yang bermunculan, terutama di Afrika, Timur Tengah dan Asia, namun dominasi ekonomi Barat masih bercokol di negara-negara ketiga. Pembangunan di negara-negara ketiga sulit terlepas dari peran negara Barat, dan pada perkembangannya dalam konteks budaya hal ini melahirkan jenis baru imperialisme yang dikenal sebagai dependency cultural dan cultural imperialism (Mohammadi dalam Downing [ed], 1990 : 268-269). Saat kekuatan imperialisme angkat kaki dari negara jajahan dan mengakhiri kekuasaan ekonomi dan politiknya bukan berarti pengaruh mereka berakhir begitu saja. Rage Against The Machine menggambarkan hal ini dalam lirik lagu Wind Below (1996),
And GE is gonna flex and try and annex the truth
And NBC is gonna flex and cast their image in you
And Disney bought the fantacies and piles of eyes
And ABC’s new thrill rides of trials and lies
GE (General Electric), NBC (National Broadcasting Corporation), Disney dan ABC (American Broadcasting Corporation) adalah ikon-ikon konglomerasi media Amerika yang secara political economy didominasi eksekutif media yang bekerja secara profesional untuk tujuan profit, namun profesionalisme ini tidak lepas dari ikatan yang erat dan saling menguntungkan antara kalangan bisnis dan pemerintah Amerika Serikat (Herman dalam Downing [ed], 1990 : 287). Tesis cultural imperialism juga menyatakan bahwa budaya lokal yang authentic dan tradisional di berbagai belahan dunia sudah kehilangan eksistensinya oleh beragam produk budaya Amerika yang menjadi puncak hegemoni Dunia Pertama yang bersifat komersial yang membanjiri pasar (Tunstall dalam Lazare [ed], 1987 : 546).
Sebagai contoh lain bagaimana pascakolonialisme masih mengakar kuat, ada baiknya kita memakai konsep mimikri. Agar lebih konkret kita akan memakai novel Sitti Nurbaya dan Student Hidjo sebagai ilustrasi singkat dengan menggunakan konsep mimikri sebagai pintu masuk ke dalam pergulatan kontradiksi pascakolonial dalam novel tersebut dengan melakukan intertekstualitas di antara keduanya. Setidaknya aliran dalam novel Indonesia dapat diwakili oleh Sitti Nurbaya yang mewakili novel Balai Pustaka sebagai sebuah aliran mainstream, dan Student Hidjo yang non-Balai Pustaka. Konsep mengenai mimikri pertama kali dikemukakan oleh Homi Bhabha, yang menyatakan bahwa mimikri atau peniruan bertolak dari kontradiksi yang paling inti dalam wacana pascakolonial, terutama terjadi sejak kalangan intelektual generasi baru di negara-negara jajahan mendapatkan kesempatan untuk mengeyam pendidikan di negara-negara penjajah. Penyebaran pendidikan Barat diharapkan dapat memperkokoh kekuasaan kolonial dengan terciptanya sebuah golongan dalam masyarakat kolonial yang sama-sama mengidentifikasikan dirinya seperti halnya kaum penjajah (Foulcher, 1999 : 15).
Pergulatan mimikri yang sering dimunculkan dalam kontradiksi pascakolonial dalam novel Indonesia adalah pergulatan antara modernitas dengan kekolotan adat. Sitti Nurbaya mengawali pergulatan modernitas melalui kebimbangan Sitti Nurbaya untuk memilih Samsu, yang merepresentasikan modernitas atau Datuk Maringgih, yang merepresentasikan kekolotan adat feodalisme. Novel terkenal yang berada di luar penerbitan Balai Pustaka, Student Hidjo, yang terbit tidak lama dengan Sitti Nurbaya, karangan Mas Marco Kartodikromo menampilkan pendidikan Barat sebagai pembuka kesadaran kelas masyarakat pribumi untuk mencapai kemerdekaan. Artinya Barat masih dianggap sebagai sesuatu yang harus diikuti.
*Paper serupa dengan versi yang lain pernah disajikan di Seminar Sehari dengan tema “KTT Asia Afrika : Konsolidasi Kerakyatan Upaya Mendorong Kekuatan Negara Dunia Ketiga Melawan Nekolim” di Auditorium Universitas Janabadra. Rabu 20 April 2005.