Wednesday, February 16, 2005

Cultural Studies Sebagai Sebuah Pendekatan

Cultural Studies Sebagai Sebuah Pendekatan
terhadap Realitas Budaya

Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si

Saat ini cultural studies layaknya sebuah kajian yang begitu seksi, karena banyak orang yang menulis dengan pendekatan ini. Media massa juga tidak ketinggalan merayakan gegap gempita cultural studies, seperti Kompas melalui halaman Bentara dan Kompas Edisi Hari Minggu. Begitu juga kalangan cendikiawan dan budayawan, yang ramai-ramai menulis mengenai budaya melalui kaca mata cultural studies, seperti yang pergulatan mereka dalam Jurnal Kalam.
Cultural studies atau yang bisa kita terjemahkan sebagai kajian budaya pada awalnya berasal dari penelitian terhadap cara budaya dihasilkan lewat sebuah perjuangan ideologi-ideologi yang dilakukan oleh para peneliti di Center for Contemporary Cultural Studies di Universitas Birmingham, Inggris. Generasi awal para peneliti ini adalah Richard Hoggart dan Raymond Williams yang di tahun 1950-an meneliti mengenai kehidupan sosial dan budaya kelas pekerja Inggris setelah PD II. Karena berasal dari Kota Birmingham, pemikiran mereka kemudian populer juga dengan nama Birmingham School (Mahzab Birmingham).
Para peneliti dari Mahzab Birmingham berusaha melakukan praksis dengan pendekatan yang mereka gunakan, dengan kata lain mereka memandang keilmuan mereka sebagai suatu instrumen bagi perjuangan budaya. Mereka meyakini bahwa perubahan semacam itu akan terjadi dalam dua cara, yaitu: pertama dengan mengidentifikasi kontradiksi dalam masyarakat, di mana resolusinya akan mengarah pada hal yang positif, yang berlawanan dengan resolusi yang apresif dan juga perubahan ; dan kedua, dengan memberikan interpretasi yang akan membantu masyarakat memahami dominasi dan jenis perubahan yang diinginkan. Samud Beeker mendiskripsikan tujuan yang hendak mereka capai adalah memberikan pukulan keras balik pada khalayak melalui media agar tidak menjadi terlalu mudah menerima dengan ilusi atau praktik-praktik media yang ada karena isi media dianggap hanya membawa kesadaran palsu (false consciousness). Kajian komunikasi massa kemudian menjadi isu sentral dalam riset yang mereka lakukan, karena media dianggap sebagai alat yang efektif dari ideologi yang dominan (dominant ideology).
Bagi mereka media sebenarnya memiliki potensi untuk meningkatkan kesadaran penduduk tentang isu-isu kelas, kekuasaan dan dominasi. Media dianggap sebagai arena pertarungan (site of strunggle) dari berbagai kelas yang ada, baik kelas dominan maupun subordinat. Memang media merupakan kajian utama dari tradisi ini, tetapi media bukanlah satu-satunya pusat perhatian para ilmuwan Mahzab Birmingham, sehingga inilah alasan mereka mengacu bidang kajian mereka sebagai “cultural studies” atau “kajian budaya”, bukan kajian media (media studies).
Apa yang dimaksudkan dengan budaya dalam cultural studies ? Ada dua definisi yang setidaknya dapat diberikan terhadap konsep ini. Pertama adalah ide umum di mana masyarakat atau kelompok memahami ideologinya, atau cara-cara kolektif yang digunakan suatu kelompok untuk memahami pengalamannya. Kedua, budaya dimengerti sebagai praktek-praktek atau keseluruhan cara hidup suatu kelompok apa yang dilakukan individu secara material dari hari ke hari. Dua jenis pengertian budaya ini tidak bisa benar-benar dipisahkan, karena ideologi suatu kelompok dihasilkan dan direproduksi dalam praktek-praktek ideologi tersebut. Pada kenyataaannya, perhatian umum dari teoritikus budaya merupakan gabungan antara tindakan institusi masyarakat seperti media dari budaya. Praktek dan ide selalu berjalan seiring dalam suatu konteks historis.
Misalnya, ketika orang melihat televisi setiap hari. Semua industri pertelevisian merupakan suatu produk budaya karena merupakan alat untuk mencipta, membantah, memproduksi dan merubah budaya. Praktek kongkrit atau material yang terdapat dalam pemroduksian dan pengkonsumsian TV merupakan mekanisme krusial dalam pembentukan ideologi.
Pemahaman yang “dibagikan” ini merupakan sebuah ideologi yang ditentukan oleh sejumlah pengaruh yang seringkali nyata yang timbul secara bersamaan dan membuat pengalaman umum tampak sebagai pengalaman nyata bagi kita. Dalam kajian budaya, proses pemahaman realitas ini ditimbulkan oleh banyak sumber ini dinamakan sebagai artikulasi (articulation). Pengalaman kita yang “terbagi” ini kelihatan menjadi nyata dikarenakan adanya artikulasi diantara beberapa sumber verifikasi.
Dikarenakan oleh adanya artikulasi, maka tidak seluruh ideologi berada dalam wilayah pijakan yang sama dalam masyarakat. Misalnya dalam pemikiran mahzab kritis yang menyatakan bahwa dalam masyarakat kapitalis terjadi dominasi oleh suatu ideologi yang dikuasai oleh elit industi budaya. Di mata kelas pekerja, ideologi dominan merupakan kesalahan karena ia tidak merefleksikan kepentingan mereka atau yang juga biasa dikenal sebagai false conciousness. Di sinilah terjadi apa yang dinamakan sebagai hegemoni. Hegemoni selalu menjadi suatu proses yang cair, yang oleh Stuart Hall dengan memakai pemikiran Antonio Gramsi, disebut sebagai kondisi temporer dalam “pentas pertempuran” (site of strunggle). Sehingga dalam kajian budaya, masyarakat kemudian dipahami sebagai sebuah formasi kompleks, yang selalu memerlukan kontradiksi, dan juga selalu bersifat historis secara khusus.
Iklan produk pemutih yang banyak ditayangkan di layar kaca merupakan contoh yang jelas untuk menganalisis hal ini. Iklan produk ini telah mampu mengubah konstruksi sosial kulit perempuan yang ideal, dari kulit kuning langsat menjadi kulit yang putih, sebagaimana iklan kosmetika Citra merepresentasikan hal ini. Tujuan utama kajian budaya kemudian adalah untuk mengekplorasi bagaimana cara ideologi yang berasal kelas-kelas berkuasa mampu bertahan dan hidup tanpa disadari. Dan cara-cara ideologis tersebut bisa terus mengacaukan sistem kekuasaan (power) yang eksis. Kulit kuning langsat misalnya, sudah tidak lagi menjadi wacana dominan, kerena sudah tergantikan dengan representasi kulit putih sebagai kulit ideal.
Berbagai acara televisi yang lain juga tidak luput dari beragam muatan ideologis yang berada di dalamnya. Infotainment misalnya, selalu dibawakan oleh pembawa acara perempuan, jarang sekali dipandu oleh laki-laki. Padahal sudah menjadi rahasia publik bahwa jenis tayangan ini lebih sering mengekspos wilayah privat, sehingga representasi yang terbangun dari tayangan ini adalah perempuan lebih pantas mengurusi wilayah privat. Representasi ini tentu saja dengan mudah dapat kita kaitkan dengan ideologi patriarki yang masih kuat mencengkram. Ujung-ujungnya patriarkhi masih saja terus mampu bertahan dengan salah satunya melalui mekanisme representasi perempuan sebagai pembawa acara infotainment.

Referensi Utama

Littlejohn, Stephen W. (1996). Theories of Human Communication, 5th Edition. Belmont, Wadsworth Publising Company. Chapter 11 hal. 234 – 236

Storey, John. 1993. An Introductionary Guide to Popular Culture dan Critical Theory. Herdfoshire : Harvester Wheatsheaf

0 Comments:

Post a Comment

<< Home