Tuesday, May 23, 2006

Bahan Ujian Akhir 2006

Bahan UAS meliputi
1. bahan2 di sosiologikomunikasi.blogspot.com
2. Buku2 penunjang seperti EM Griffin, Stephen W Littlejohn, John Fiske, John Storey dsb
3. Diskusi selama perkuliahan
4. Makalah dengan judul "Black Hawk Down dan Representasi Umat Islam yang dapat diakses di www.paperkita.blogspot.com



Jogjakarta 23 Mei 2006

Fajar Junaedi

Met belajar ya .....

Thursday, June 30, 2005

BAGAIMANA MENGUTIP SUMBER DARI INTERNET DI DAFTAR PUSTAKA

Untuk mengutip sumber di internet
1. Jika kurang dari 5 baris yang dikutip menjadi satu bagian dengan esai/makalah/paper yang ditulis
2. Kalau 5 baris atau lebih harus dipisah dengan cara : 1 spasi, masuk 1 tab
3. Tulis nama penulis dan tahun akses. Misal ...............................(Junaedi, 2005)
4. Di daftar pustaka ditulis :
Junaedi, Fajar (2005). Judul. Alamat internet, tanggal akses5. Jika tidak seperti ini dianggap plagiatisme !!

Tuesday, May 17, 2005

Pascakolonialisme di Sekitar Kita

Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si


Word is born
Fight the war, fuck the norm
Now I got no patience
So sick of complacence
With the DEFIANCE
……
What? The land of the free?
However told you that is your enemy
Something must be done
About vengeance, a bagde and a gun
‘Cause I’ll rip the mike, rip the stage, rip the system
I was born to rage against ‘em

(Rage Against The Machine,Know Your Enemy,1992)


Menurut Marx dan Engels (Storey [ed], 1994:196), dengan penguasaan kekuatan material dalam masyarakat, kelas yang berkuasa akan menguasai kekuatan intelektual. Artinya ide-ide kelas yang berkuasa (ruling class) akan sekaligus menjadi ide-ide yang berkuasa (ruling ideas). Sehingga kemudian Gramsci (Storey [ed],1994:215), menyatakan bahwa kelas sosial menjalankan kekuasaannya melalui dua metode yaitu : melalui dominasi dan kepemimpinan moral dan intelektual, yang diistilahkan oleh Gramsci sebagai hegemoni (hegemony).
Dengan konsep hegemoni ini Gramsci sekaligus menyatakan jika relasi kultural dan ideologi antara kelas yang berkuasa dan kelas subordinat dalam masyarakat kapitalis lebih berupa hegemoni, bukan dominasi (Bennet dalam Storey [ed],1994: 225). Kepemimpinan moral dan intelektual ini membuka jalan bagi perluasan konsep kelas dengan tidak lagi semata berdasarkan basis-superstruktur yang bersifat deterministik pada basis ekonomi dengan hanya melihat hubungan kelas hanya antara kelas kapitalis dan proletariat. Konfigurasi kelas kemudian melebar dalam konfigurasi gender, ras, generasi, teritori, etnis dan budaya. Namun suatu golongan sosial seperti di atas dapat dianggap sebagai kelas jika secara subyektif menyadari diri mereka sebagai satu kelas, yaitu sebuah golongan khusus dalam masyarakat yang mempunyai kepentingan spesifik dan mau memperjuangkan kepentingan spesifik yang mereka miliki dan bukan hanya secara obyektif merupakan golongan sosial dengan kepentingannya sendiri (Magnis-Suseno, 1999:122).
Namun, kapitalisme lanjut (late capitalism) dan globalisasi ekonomi telah mengubah wajah dunia, dengan wajah yang tentu saja jauh berbeda saat Marx dan Engels menuliskan tesis-tesis mereka. Dunia terbagi menjadi dua kutub besar, yaitu Dunia Pertama yang menikmati nikmatnya eksploitasi mereka dalam masa kolonialisme dan Dunia Ketiga yang masih saja menderita setelah kolonialisme secara administratif angkat kaki. Di Dunia Ketiga inilah negara-negara di Benua Asia dan Afrika menjadi mayoritas pengisinya.
Gemuruh globalisasi telah mengakibatkan perlunya dialektika terhadap tesis-tesis yang dikemukan Marx lebih dari satu setengah abad yang lalu. Di negara maju di belahan Dunia Pertama, misalnya, para petani bisa menjadi kelas yang paling militan (Magnis-Suseno, 1999: 144). Suatu kondisi yang berbeda sekali dengan tesis Marx yang menyatakan petani bukanlah suatu kelas yang revolusioner. Sedangkan di negara-negara berkembang, kapitalisme masih berkutat dengan coraknya yang masih semu (ersant capitalism). Kelas kapitalis di Dunia Ketiga besar karena dukungan sepenuhnya oleh aristokrat dan birokrat. Seperti yang terjadi di Genoa, Italia pada bulan Agustus 2001 saat gerakan anti kapitalisme global yang disimbolkan dengan IMF, World Bank, G 8 dan WTO bergerak secara massif memprotes globalisasi yang disponsori negara-negara maju. Menariknya, aksi massa ini, bukan hanya diikuti oleh para buruh industri dan tani dari negara- negara berkembang namun juga dipelopori oleh para petani dari negara maju.
Globalisasi ekonomi dan perdagangan secara substansial telah mengubah dimensi dan struktur perusahaan, pasar dan hubungan industrial serta penanaman modal. Produktifitas di beberapa negara, terutama negara maju meningkat namun keuntungan-keuntungan itu tidak didistribusikan secara adil dan terjadinya ketidakadilan distribusi inilah yang menyebabkan terjadinya pergerakan massa petani di negara maju, yang tidak menikmati keuntungan dibanding kelas lainnya, dalam gerakan massa yang militan dan massif.
Para buruh juga menghadapi kondisi bak buah simalakama. Upah yang rendah diiringi semakin mahalnya harga kebutuhan pokok yang meroket sebagai akibat dicabutnya subsidi BBM, membawa kehidupan yang semakin menyusahkan mereka. Letter of Intent antara Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) telah menerpurukan kaum yang layak menjadi barisan pelopor (vanguard) ini. Pengusaha kecil juga harus bersaing dengan Trans National Corporations (TNCs) yang menggurita tiada terbendung. Menuruti hukum konsentrasi modal, modal akan selalu bergerak dari kapitalis kecil menuju kapitalis besar.
Ketidakseimbangan ini menjadikan kesenjangan teknologi informasi antara Dunia Pertama dan Ketiga semakin akut. Padahal menurut Anthony Giddens, evolusi sistem komunikasi adalah pusat perhatian untuk memahami masyarakat modern (Stevenson, 1997:133). Artinya modernitas masih berkitar pada negara-negara Barat saja.
Perkembangan media komunikasi berelasi erat dengan masyarakat yang massif. Konglomerasi media Barat, khususnya yang terjadi di Amerika dengan kapital yang sangat besar seperti CNN yang merger dengan Time Warner mampu berkembang menguasai wacana yang berkembang, apalagi jika kemudian dihadapkan dengan negara ketiga dengan kapital yang jauh lebih kecil. Inilah yang dikatakan oleh Cess Hamelink sebagai ketidakseimbangan informasi antara negara inti dengan negara pinggir (information imbalance between core and periphery). Ketidakseimbangan ini lalu menjadi masalah krusial dalam hubungan internasional antara negara pinggir yang masih mengalami postcolonial subject. Nilai dan ide baru sebagai bentuk budaya baru dibawa dan diperkenalkan kepada negara pinggir oleh negara inti semenjak kolonialisme masih eksis sampai masa-masa setelah mereka angkat kaki dilestarikan terus sampai sekarang (Hamelink dalam Downing [ed], 1990 : 224).
Ali Mohammadi menyatakan bahwa saat ini dunia berada dalam kondisi postimperialist. Memang banyak negara-negara baru yang bermunculan, terutama di Afrika, Timur Tengah dan Asia, namun dominasi ekonomi Barat masih bercokol di negara-negara ketiga. Pembangunan di negara-negara ketiga sulit terlepas dari peran negara Barat, dan pada perkembangannya dalam konteks budaya hal ini melahirkan jenis baru imperialisme yang dikenal sebagai dependency cultural dan cultural imperialism (Mohammadi dalam Downing [ed], 1990 : 268-269). Saat kekuatan imperialisme angkat kaki dari negara jajahan dan mengakhiri kekuasaan ekonomi dan politiknya bukan berarti pengaruh mereka berakhir begitu saja. Rage Against The Machine menggambarkan hal ini dalam lirik lagu Wind Below (1996),
And GE is gonna flex and try and annex the truth
And NBC is gonna flex and cast their image in you
And Disney bought the fantacies and piles of eyes
And ABC’s new thrill rides of trials and lies

GE (General Electric), NBC (National Broadcasting Corporation), Disney dan ABC (American Broadcasting Corporation) adalah ikon-ikon konglomerasi media Amerika yang secara political economy didominasi eksekutif media yang bekerja secara profesional untuk tujuan profit, namun profesionalisme ini tidak lepas dari ikatan yang erat dan saling menguntungkan antara kalangan bisnis dan pemerintah Amerika Serikat (Herman dalam Downing [ed], 1990 : 287). Tesis cultural imperialism juga menyatakan bahwa budaya lokal yang authentic dan tradisional di berbagai belahan dunia sudah kehilangan eksistensinya oleh beragam produk budaya Amerika yang menjadi puncak hegemoni Dunia Pertama yang bersifat komersial yang membanjiri pasar (Tunstall dalam Lazare [ed], 1987 : 546).
Sebagai contoh lain bagaimana pascakolonialisme masih mengakar kuat, ada baiknya kita memakai konsep mimikri. Agar lebih konkret kita akan memakai novel Sitti Nurbaya dan Student Hidjo sebagai ilustrasi singkat dengan menggunakan konsep mimikri sebagai pintu masuk ke dalam pergulatan kontradiksi pascakolonial dalam novel tersebut dengan melakukan intertekstualitas di antara keduanya. Setidaknya aliran dalam novel Indonesia dapat diwakili oleh Sitti Nurbaya yang mewakili novel Balai Pustaka sebagai sebuah aliran mainstream, dan Student Hidjo yang non-Balai Pustaka. Konsep mengenai mimikri pertama kali dikemukakan oleh Homi Bhabha, yang menyatakan bahwa mimikri atau peniruan bertolak dari kontradiksi yang paling inti dalam wacana pascakolonial, terutama terjadi sejak kalangan intelektual generasi baru di negara-negara jajahan mendapatkan kesempatan untuk mengeyam pendidikan di negara-negara penjajah. Penyebaran pendidikan Barat diharapkan dapat memperkokoh kekuasaan kolonial dengan terciptanya sebuah golongan dalam masyarakat kolonial yang sama-sama mengidentifikasikan dirinya seperti halnya kaum penjajah (Foulcher, 1999 : 15).
Pergulatan mimikri yang sering dimunculkan dalam kontradiksi pascakolonial dalam novel Indonesia adalah pergulatan antara modernitas dengan kekolotan adat. Sitti Nurbaya mengawali pergulatan modernitas melalui kebimbangan Sitti Nurbaya untuk memilih Samsu, yang merepresentasikan modernitas atau Datuk Maringgih, yang merepresentasikan kekolotan adat feodalisme. Novel terkenal yang berada di luar penerbitan Balai Pustaka, Student Hidjo, yang terbit tidak lama dengan Sitti Nurbaya, karangan Mas Marco Kartodikromo menampilkan pendidikan Barat sebagai pembuka kesadaran kelas masyarakat pribumi untuk mencapai kemerdekaan. Artinya Barat masih dianggap sebagai sesuatu yang harus diikuti.

*Paper serupa dengan versi yang lain pernah disajikan di Seminar Sehari dengan tema “KTT Asia Afrika : Konsolidasi Kerakyatan Upaya Mendorong Kekuatan Negara Dunia Ketiga Melawan Nekolim” di Auditorium Universitas Janabadra. Rabu 20 April 2005.

Mengenal Strukturalisme, Memahami Levi-Strauss, Membaca Mitos Modern

Oleh Fajar Junaedi S.Sos, M.Si *

Sebelum memasuki alam pemikiran Jean Claude Levi-Strauss ada baiknya kita menengok ke generasi awal alam pemikiran strukturalisme yang selama ini dianggap banyak berhutang pada pemikiran Levi-Strauss, dan bahkan ia dianggap sebagai pelanjut strukturalisme yang telah dirintis oleh Ferdinand de Saussure. Kata “struktur” yang menjadi kata dasar dari strukturalisme dapat dengan mudah kita pahami dengan memakai semiotika (semiotics) atau semiologi (semiology) yang dikembangkan secara brilian oleh Saussure. Semiotika sendiri ada awalnya diterapkan pada kebahasaan dan serempak pula merupakan pendekatan struktural tentang bahasa.
Semiotika secara terminologi berasal dari bahasa Yunani yaitu semieon, yang berarti tanda. Dalam semiotika ada beberapa aturan pokok yang mengatur sistem tanda bahasa, sehingga dari sinilah kemudian lahir strukturalisme. Pertama, menurut Saussure, sebuah tanda khususnya tanda kebahasaan, merupakan entitas psikologis yang bersisi dua atau berdwimuka, terdiri dari unsur penanda (signifier) dan petanda (signified). Kedua elemen tanda-tanda itu sungguh-sungguh menyatu dan saling tergantung satu sama lain. Kombinasi dari keduanya inilah yang kemudian menghasilkan tanda (sign).
Relasi antara penanda dengan petanda terjadi begitu saja dan arbitrer. Karena itu kita perlu mengetahui kode-kode yang menyatakan kepada kita apa yang dimaknakan oleh tanda-tanda. Kode (code) adalah satu sitem dari konvensi-konvensi yang memungkinkan kepada seseorang untuk mendeteksi arti dalam tanda-tanda karena hubungan (Berger, 2000 : 219 ).
Kedua adalah langue dan parole. Langue dapat diartikan sebagai penggunaan tanda bahasa secara umum atau oleh publik yang menyepakatinya, sedangkan parole adalah pemakaian tanda bahasa di tangan individu. Inilah yang membedakan kajian strukturalisme yang dikembangkan oleh Saussure dengan pendekatan linguistic yang lain, di mana pendekatan linguistic yang lain hanya berhenti pada tataran langue (Bertens, 2001 : 182). Saussure mengilustrasikan relasi keduanya dengan memakai permainan catur sebagai sebuah contoh. Kuda dalam permainan catur memiliki gerak berbentuk huruf “L”. Ini dapat dianggap sebagai parole dari sebuah sistem struktur. Individu yang bermain catur bebas untuk menggerakan kuda dalam bentuk huruf “L” baik ke kiri, ke kanan, ke depan atau ke belakang. Yang penting masih dalam bentuk huruf “L”. Ini dapat dianggap sebagai parole. Yang perlu diingat kebebasan menggerakan kuda ini terstruktur dalam huruf “L” dan tidak boleh keluar dari aturan ini karena jika bergerak selain gerak “L” maka hancurlah struktur permainan catur.
Tahap abstraksi yang secara umum terdapat dalam studi semiotika adalah kajian sintaksis atau sintagmatik, yang kemudian dilanjutkan dengan kajian semantik dan pragmatis. Kajian sintaksis menurut Morris merupakan sub bagian dari semiotika yang mempelajari kaidah – kaidah yang mengendalikan tuturan dan interpretasi. Sehingga sintaksis berusaha mengkaji hubungan tanda-tanda dan bagaimana cara mereka bekerja sama untuk menjalankan fungsinya.
Selanjutnya menurut Morris, semantik merupakan aspek semiotika yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda dan obyek yang diacunya atau makna tanda-tanda sebelum digunakan di dalam tuturan tertentu (Budiman, 1999 : 107). Dengan demikian semantik berusaha mengungkapkan hubungan tanda-tanda dengan acuannya dan dengan interpretasi yang dihasilkan. Sedangkan kajian pragmatis atau paradigmatik mementingkan pada hubungan tanda-tanda dengan interpreternya, baik pengirim maupun penerima tanda bahasa (Budiman, 1999 : 95).
Kemudian dengan analisis pragmatis dapat diketahui pola oposisi yang terdapat dalam teks. Oposisi yang digunakan adalah pola oposisi biner (binary opposition) yang menjadi basis dari penciptaan oposisi dalam bahasa (Berger, 2000 :17).
Di tangan Levi-Strauss, strukturalisme berkembang dengan mengagumkan dan sempat menjadi trend of thought di Perancis, dan bahkan Eropa di tahun 1960-an bersama pemikiran strukturalisme yang dikembangkan oleh Louis Althusser. Tidak mengherankan jika kemudian ia mendapat julukan sebagai Bapak Strukturalisme Perancis.
Bagi Levi-Strauss analisis sintagmatik pada teks memperlihatkan makna yang manifest (nyata-nampak) dan analisis paradigmatic teks akan mampu membongkar makna yang laten (tersembunyi) di balik teks. Struktur yang nampak dari teks terdiri dari apa yang ada dalam teks, sedangkan struktur laten berisi teks tersebut berbicara apa. Dengan bahasa yang lain, tatkala kita menggunakan pendekatan paradigmatik, kita sebagai pembaca tidak terlalu menaruh perhatian dengan apa yang dikerjakan oleh karakter dalam teks, tetapi lebih pada apa yang dimaksudkan oleh teks tersebut.
Dalam biografinya, Levi-Strauss mengungkapkan ada tiga guru yang mempengaruhi alam pemikiran yang dikembangkannya, yaitu filsafat Karl Marx, psikoanalisis Sigmud Freud dan ilmu geologi. ia mencoba menerapkan proyek strukturalismenya ke dalam antropologi. Fonologi, yang menjadi penanda khas pemikirannya, terutama ditandai dengan tiga ciri yang kesemuanya dapat dimanfaatkan dalam ilmu antropologi. Pertama, sebagaimana bahasa seluruhnya merupakan sistem tanda tanda, demikian pula dengan unsur-unsur bahasa yang disebut fonem-fonem merupakan suatu sistem yang terdiri dari relasi-relasi dan oposisi-oposisi. Inilah yang kemudian dikenal dalam strukturalisme sebagai oposisi biner, seperti alami/budaya, hitam/putih, laki-laki/perempuan dan sebagainya. Kedua, sistem itu harus dipelajari secara sinkronis sebelum orang memahami secara diakronis. Ketiga, hukum-hukum linguistik memperlihatkan suatu tahap tak sadar (unconscious). Hukum-hukum tata bahasa umpamanya diterapkan orang tanpa ragu-ragu. Padahal orang tidak mengenal hukum-hukum itu secara sadar (Bertens, 2001 : 193).
Sumbangan pemikirannya yang terkenal adalah berkaitan dengan mitologi. Dalam usahanya melakukan interpretasi terhadap mitos , Levi-Strauss membedakan unsur-unsur elementer dalam setiap mitos. Unsur elementer yang dinamakannya sebagai mythemme (mitem/katakanlah). Dalam mitos mengenai oidipus, sebuah mitos yang mengilhami Freud dalam menelurkan istilah oidipus complex, dijelaskan oleh Levi-Strauss sebagai berikut. Bahwa oidipus membunuh ayahnya, boleh dianggap sebagai suatu mitem tersendiri. Dan bahwa kemudian oidipus menikahi ibunya merupakan mitem yang lain. Interpretasi berlangsung dengan merelasikan berbagai hubungan dan oposisi-oposisi antara unsur-unsur elementer tersebut. Dalam hal ini ditekankan olehnya bahwa dalam melakukan pembacaan terhadap mitos tidak hanya boleh dibaca seperti saat kita membaca buku, dari kiri ke kanan, tetapi harus dibaca juga dari atas ke bawah (Bertens, 2001 : 200).
Pengaruh pemikiran Levi-Strauss ternyata bukan hanya bergaung di Eropa daratan saja, melainkan berpengaruh luas di dalam tradisi Anglo-Saxon termasuk di Amerika Serikat. Dengan memakai strukturalisme Levi-Strauss, Will Wright menggambarkan narasi yang dibangun artefak budaya Amerika Serikat dalam struktur oposisi biner sebagai berikut,
Inside Society Vs Outside Society
Good Vs Bad
Strong Vs Weak
Civilizations Vs Wilderness

(Dikutip dari Storey, 1993 : 74).

Narasi yang demikian dapat dengan mudah kita jumpai dalam berbagai film Hollywood yang selalu menggambarkan Dunia Timur sebagai “yang lain” (the other) atau outside society sedangkan masyarakat Barat sebagai inside society. Struktur demikian telah menjadi mitos modern dalam berbagai artefak budaya yang dihasilkan masyarakat Barat, termasuk yang paling mudah ditemui adalah representasi Dunia Timur ketika berhadapan Dunia Barat dalam film Hollywood. Rambo misalnya digambarkan sebagai seorang pahlawan yang baik hati dan kuat, sedangkan tentara Vietnam yang menjadi musuh Rambo direpresentasikan sebagai pihak yang jahat dan berperadaban.
Demikian pula ketika kita melakukan intertekstualitas (intertextuality), maka struktur demikian juga dapat ditemui dalam pemberitaan di media massa Barat yang selalu menggambarkan Dunia Timur sebagai teroris yang berperikemanusiaan ketika terlibat konflik dengan pihak Barat. Dengan memakai pendekatan Levi-Strauss, agaknya struktur yang demikian telah menjadi langue dalam mitos modern masyarakat Barat.

* Makalah dengan tema serupa pernah disajikan untuk Kajian Teori Sosial Strukturalisme (Studi Pemikiran Levi-Strauss) di Madrasah Intelektual Muhammadiyah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah AR Fakhrudin, Sabtu 16 April 2005.

Khalayak Aktif versus Khalayak Pasif

Oleh : Fajar Junaedi M.Si*

Perdebatan mengenai tipologi khalayak (audience) yang cukup dilematis dalam perkembangan kajian komunikasi massa adalah polemik mengenai tipologi khalayak pasif berhadapan dengan khalayak aktif. Pandangan khalayak pasif memahami bahwa masyarakat dapat dengan mudah dipengaruhi oleh arus langsung dari media, sedangkan pandangan khalayak aktif menyatakan bahwa khalayak memiliki keputusan aktif tentang bagaimana menggunakan media. Selama ini yang terjadi dalam studi komunikasi massa, teori masyarakat massa lebih memiliki kecenderungan untuk menggunakan konsepsi teori khalayak pasif, meskipun tidak semua teori khalayak pasif dapat dikategorisasi sebagai teori masyarakat massa. Demikian juga, sebagian besar teori komunitas yang berkembang dalam studi komunikasi massa lebih cenderung menganut kepada khalayak aktif.
Wacana di atas berelasi dengan pelbagai teori pengaruh media yang berkembang setelahnya. Teori “pengaruh kuat” seperti teori peluru (bullet theory) yang ditimbulkan media lebih cenderung untuk didasarkan pada khalayak pasif, sedangkan teori “pengaruh minimal” seperti uses and gratification theory lebih banyak dilandaskan pada khalayak aktif.
Dalam kajian yang dilakukan oleh Frank Biocca dalam artikelnya yang berjudul ”Opposing Conceptions of the Audience : The Active and Passive Hemispheres of Communication Theory” (1998), yang kemudian diakui menjadi tulisan paling komprehensif mengenai perdebatan tentang khalayak aktif versus khalayak pasif, ditemukan beberapa tipologi dari khalayak aktif.
Pertama adalah selektifitas (selectivity). Khalayak aktif dianggap selektif dalam proses konsumsi media yang mereka pilih untuk digunakan. Merka tidak asal-asalan dalam mengkonsumsi media, namun didasari alasan dan tujuan tertentu. Misalnya, kalangan bisnis lebih berorientasi mengkonsumsi Majalah Swasembada dan Harian Bisnis Indonesia untuk mengetahui perkembangan dunia bisnis, penggemar olahraga mengkonsumsi Tabloid Bola untuk mengetahui hasil berbagai pertandingan olah raga dan sebagainya.
Karakteristik kedua adalah utilitarianisme (utilitarianism) di mana khalayak aktif dikatakan mengkonsumsi media dalam rangka suatu kepentingan untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan tertentu yang mereka miliki.
Karakteristik yang ketiga adalah intensionalitas (intentionality), yang mengandung makna penggunaan secara sengaja dari isi media. Karakteristik yang keempat adalah keikutsertaan (involvement) , atau usaha. Maksudnya khalayak secara aktif berfikir mengenai alasan mereka dalam mengkonsumsi media.
Yang kelima, khalayak aktif dipercaya sebagai komunitas yang tahan dalam menghadapi pengaruh media (impervious to influence), atau tidak mudah dibujuk oleh media itu sendiri (Littlejohn,1996 : 333).
Khalayak yang lebih terdidik (educated people) cenderung menjadi bagian dari khalayak aktif, karena mereka lebih bisa memilih media yang mereka konsumsi sesuai kebutuhan mereka dibandingkan khalayak yang tidak terdidik.
Kita bisa melihat tipologi khalayak pasif dan khalayak aktif ini dari konsumsi media cetak masyarakat di sekitar kita. Media cetak kriminal, seperti Pos Kota dan Lampu Merah di Jakarta, Meteor di Jawa Tengah, Koran Merapi di Yogyakarta dan Memorandum di Jawa Timur sangat populer di kalangan menengah ke bawah. Berbagai harian ini dapat dengan mudah dijumpai di lapak-lapak koran yang bersebaran di pinggir jalan dengan konsumen yang didominasi kalangan menengah ke bawah. Mereka mengkonsumsi media di atas dengan selektivitas yang menimal dan tujuan yang tidak begitu jelas. Berbeda dengan kalangan menengah ke atas yang lebih terdidik yang mengkonsumsi media massa dengan tujuan tertentu secara selektif. Misalnya, mereka yang aktif dalam kegiatan perekonomian tentu akan lebih memilih Bisnis Indonesia dibanding memilih media lain. Alasan mereka memilih media ini tentu saja karena harian ini lebih banyak mengupas masalah ekonomi dan dunia usaha yang berhubungan langsung dengan kehidupan mereka sehari-hari.
Namun mayoritas ahli komunikasi massa dewasa ini lebih meyakini bahwa komunitas massa dan dikotomi aktif-pasif merupakan konsep yang terlalu sederhana atau deterministik, karena konsep-konsep di atas tidak mampu menelaah kompleksitas sebenarnya dari khalayak. Bisa jadi pada saat tertentu khalayak menjadi khalayak aktif, namun pada saat yang lain mereka menjadi khalayak pasif, sehingga pertanyaannya kemudian bergeser lebih jauh mengenai kapan dan dalam situasi apa khalayak menjadi lebih mudah terpengaruh.

Monday, March 14, 2005

Hiperrealitas, Ketika Makna Memproduksi Realitas

Oleh Fajar Junaedi S.Sos, M.Si

Semiotika yang sudah sangat akrab dengan mahasiswa ilmu komunikasi, memiliki sejarah yang perkembangan panjang dalam abad 21. Bidang ini membantu kita melihat bagaimana tanda-tanda bahasa (signs) digunakan untuk menginterpretasi realitas di sekitar kita dan serempak pula dapat menjadi alat yang bermanfaat untuk menganalisis makna dari teks pesan media. Bagi kebanyakan orang, tanda bahasa diyakini memiliki kedudukan dan peran istimewa dalam media, dan teks media kemudian dalam banyak cara membentuk bagaimana tanda bahasa berfungsi untuk kita. Namun, kemudian berkembang pandangan yang menyatakan bahwa bukan realitas yang menghasilkan tanda bahasa, melainkan tanda bahasa-lah yang memproduksi realitas. Inilah yang kemudian dikenal sebagai semiotika poststrukturalis. Untuk lebih memahami hal ini kita akan mendiskusikannya secara lebih dekat dengan mendasarkan pada pemikiran kritikus sosial posmodernis Perancis Jean Baudrillard.
Baudrillard berkeyakinan bahwa tanda bahasa telah semakin terpisah dari objek yang mereka wakili dan bahwa media telah mendorong proses ini ke titik dimana tidak ada sesuatu yang nyata. Media melalui berbagai teks yang diproduksinya, tidak secara mendadak menciptakan kondisi ini, namun hal ini merupakan evolusi penggunaan tanda bahasa telah lama berlangsung sepanjang sejarah modern.
Penggunaan tanda bahasa telah berjalan melalui suatu evolusi yang kompleks dalam masyarakat. Pada mulanya, tanda bahasa adalah representasi sederhana dari suatu objek atau kondisi. Tanda bahasa memiliki hubungan yang jelas dan arbiter (arbitrary) dengan yang dilambangkan. Baudrillard ini mengemukakan perkembangan tanda bahasa melalui beberapa tahapan, yaitu pertama tahap urutan simbolis, yang sangat umum dalam masyarakat feodal. Pada tahap kedua, kepalsuan, yang dapat ditemui dalam dari masa Renaissance ke masa Revolusi Industri, lambang-lambang di anggap kurang berhubungan langsung dengan benda-benda dalam kehidupan. Tanda bahasa sebenarnya menghasilkan makna-makna baru dan bukan bagian alami dari pengalaman yang dilambangkan. Sebagai contoh, status, kekayaan, dan prestise dihubungkan ke benda karena cara mereka dilambangkan. Tahap ketiga, yaitu Revolusi Industri, adalah dari masa produksi mekanis dan massif mendominasi kehidupan manusia, di mana mesin-mesin ditemukan untuk menggantikan kerja manusia, membuat objek tidak tergantung dari penggunaan manusia sebagai pembuat lambang.
Dewasa ini kita sudah lepas dari ketiga periode tadi dan memasuki era simulasi (simulacrum), dimana lambang-lambang tidak lagi mewakili, namun sebaliknya malah memproduksi realitas bagi kita. Simulasi menentukan siapa dan apa yang akan dilakukan. Tidak ada lagi alat-alat untuk mewakili pengalaman kita, tanda bahasa yang melakukannya. Disneyland mencirikan era simulasi. Taman bertema adalah fantasi yang dibangun dari berbagai tanda bahasa. Kejadian sesungguhnya – bajak laut, perbatasan, dunia fantasi dan sebagainya- dapat direproduksi dimanapun dan kapanpun. Karena mereka mendominasi hidup kita, media yang baru membombardir kita dengan simulasi, dalam kenyataannya menciptakan hidup kita. Bukannya memiliki komunikasi yang asli melibatkan interaksi antar manusia, media mendominasi hidup kita dengan informasi yang membentuk apa yang kita persepsikan sebagai pengalaman yang asli, namun ia dibuang jauh dari urutan alami dari benda-benda. Ini membawa kita ke bentuk kehidupan yang dibesar-besarkan secara kasar. Kita merasa bahwa ini adalah pengalaman yang nyata, namun pada kenyataannya mereka adalah pengalaman di dalam simulasi yang dibuat dengan media.
Kebudayaan komoditas (commodity culture) kita adalah salah satu aspek dari simulasi dimana kita hidup. Lingkungan yang tersimulasi memberi tahu kita apa yang kita inginkan, ia membentuk selera, pilihan, kesukaan, dan kebutuhan kita. Konsumsi mengambil nilai-nilai di dalam dan darinya. Paling penting adalah bahwa kita mengkonsumsi, tidak bahwa kita menginginkan benda-benda nyata yang memiliki fungsi sebenarnya. Kita memikirkan bahwa kita berbeda, namun kenyataannya nilai-nilai kebanyakan orang dan tingkah lakunya sangat dibatasi oleh “kenyataan” yang disimulasikan oleh media. Kita memikirkan bahwa kebutuhan pribadi kita terpenuhi, namun itu hanyalah kebutuhan yang terhomogenisasi yang dibentuk oleh lambang-lambang di media.
Karena objek-objek dipisahkan dari keadaan alamiahnya mereka mangambil makna yang aneh untuk kita. Hidup kita dewasa ini dipenuhi oleh benda-benda yang tidak mempunyai kegunaan yang sebenarnya, namun lebih sebagai pajangan di etalase yang kita miliki dan lihat serta ujung-ujungnya membuat kehidupan yang murni “simbolisitas”. Kita membeli telepon genggam tidak lagi didasarkan manfaatnya sebagai alat komunikasi, namun untuk dipakai sebagai suatu bentuk atribut gaya hidup. Konsumsi telah beralih dari logika nilai guna (use value) menjadi nilai tanda (sign value).
Akhirnya, hasil dari proses simulasi ini, makna-makna jatuh dan mengumpul menjadi massa raksasa yang disebut Baudrilliard sebagai hiperrealitas. Ini adalah suatu proses pembesar-besaran, serupa bentuk propaganda. Bukannya membedakan antara yang baik dan buruk, cantik dan buruk rupa, kita mencampakan semua bersama-sama ke dalam suatu hyperreal.

Referensi

Baudrillard, Jean (1998). Consumer Society : Myths and Structure. London : Sage Publications

Littlejohn, Stephen W. (1996). Theories of Human Communication, 5th Edition. Belmont, Wadsworth Publising Company. Chapter 11 hal. 234 – 236

Mengenal Representasi, Memahami Realitas Media

Oleh Fajar Junaedi S.Sos, M.Si

Representasi (representation) sebagaimana dikemukakan oleh Tim O’Sullivan dkk dipahami sebagai “the social process of representing; representations are the products of the social process of representing” (O’Sullivan dkk, 1995 : 265). Representasi dalam konteks ini dapat juga dipahami sebagai “produksi makna dari konsep-konsep yang terdapat dalam pikiran manusia melalui bahasa”. Lebih lanjut representasi dapat dijelaskan sebagai “menghubungkan antara konsep-konsep dan bahasa yang membuat manusia mampu untuk merujuk dunia obyek-obyek, orang-orang, dan kejadian-kejadian yang bersifat ‘nyata’ atau bahkan dunia obyek-obyek, orang-orang dan kejadian-kejadian fiksional yang bersifat imajiner”(Hall dalam Hall [ed], 1997 : 17).
Dalam studi yang dilakukan oleh Graeme Burton mengenai representasi sebagaimana termuat dalam bukunya Talking Television : An Introduction to The Study of Television, representasi dapat dipahami tatkala berfungsi secara ideologis dalam memproduksi relasi sosial yang berbentuk dominasi dan eksploitasi (Burton, 2000 : 104). Dalam pandangan Burton ada beberapa hal yang perlu dimengerti berkaitan dengan representasi sehingga relasi sosial yang berwujud dominasi dan eksploitasi ini terbentuk, yaitu stereotype, identity, difference, naturalization dan yang tidak bisa dilupakan pula adalah ideologi.
Dari berbagai uraian di atas dapat ditarik suatu penegasan bahwa dalam representasi itu sendiri, ada beberapa persoalan krusial yang mumcul ke permukaan. Namun, hal paling utama yang layak ditarik sebagai satu persoalan adalah bagaimana representasi yang dilakukan media terhadap dunia sosial dibandingkan dengan dunia “nyata” yang sifatnya eksternal? Pada hakikatnya memang ada problematika antara “realitas sosial” yang kita alami sehari-hari dengan “realitas media” yang membentuk kesadaran dan cara kita berpikir. Sejumlah problem yang harus dipahami dari persoalan representasi ini adalah:
Pertama, representasi adalah hasil dari suatu proses seleksi yang mengakibatkan bahwa ada sejumlah aspek dari realitas yang ditonjolkan serta ada sejumlah aspek lain yang dimarjinalisasi. Hal ini mengandung implikasi bahwa seluruh representasi berarti “penghadiran kembali” dunia sosial yang kemudian membawa implikasi bahwa hasil dari suatu representasi pasti akan bersifat sempit dan tidak lengkap. Kedua, apa yang dinamakan dengan dunia yang ”nyata” itu sendiri layak untuk dipermasalahkan. Dalam hal ini menarik untuk mengemukakan pandangan dari kalangan pemikir konstruksionisme yang memberi satu penegasan bahwa tidak ada satu pun representasi dari realitas yang secara keseluruhan pastilah “benar” dan “nyata”. Misalnya dalam pemberitaan di media dalam kasus kenaikan BBM dan Ambalat, sebagian media memilih lebih mem-blow up kasus kenaikan BBM, sedangkan yang lainnya lebih memilih memberitakan kasus pertikaian Blok Ambalat dalam porsi pemberitaan yang lebih besar. Ini disebabkan wartawan dan redaksi sebelumnya sudah membingkai ( frame) suatu isu dan memilih untuk memasukkan atau menyingkirkan komponen-komponen tertentu dari realitas yang mempunyai banyak sisi-sisinya (multifaceted). Ketiga, dalam benak khalayak sendiri terdapat suatu pemikiran yang menyatakan bahwa media tidaklah harus merefleksikan realitas. Sebab, dalam hal ini, media, terutama televisi dan film yang dipenuhi hiburan, sekadar dianggap sebagai tempat pelarian (escape) dari realitas kehidupan sehari-hari. Yang paling jelas adalah tingginya rating sinetron yang berlatar belakang kehidupan kelas atas daripada sinetron yang mengetengahkan kehidupan kelas bawah (Kompas, 13 Maret 2005). Jadi, apa realitas media itu “nyata” atau tidak, memang menjadi tidak relevan untuk dibicarakan, karena ketika realitas diangkat ke dalam media tidak mungkin keseluruhan realitas digambarkan secara terperinci dari berbagai perspektif. Yang ada kemudian terjadi ketika realitas diangkat dalam satu media hanyalah representasi, yang mengandung implikasi ada hal-hal tertentu dari realitas yang dihilangkan atau ditambah.


Referensi

Burton, Graeme (2000). Talking Television : An Introduction to The Study of Television. London : Arnold

Hall, Stuart (1997). “The Work of Representation” dalam Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. New Delhi : Sage Publication

O’Sullivan, Tim; Hartley, John, Saunders, Danny; Montgomery, Martin; Fiske, John. (1995). Key Concepts in Communication and Cultural Studies, 2nd Edition. London : Routledge

Wednesday, February 23, 2005

PENGUMUMAN KONTRAK BELAJAR

Kontrak Belajar dibagikan di tiap kelas. Harap semua mahasiswa memegang kontrak belajar, agar perkuliahan dapat berjalan dengan lancar.

Friday, February 18, 2005

Marxist Media Theory

Marxist Media Theory
(source : http://www.aber.ac.uk/media/Documents/marxism)
Daniel Chandler

Introduction
In Britain and Europe, neo-Marxist approaches were common amongst media theorists from the late '60s until around the early '80s, and Marxist influences, though less dominant, remain widespread. So it is important to be aware of key Marxist concepts in analysing the mass media. However, there is no single Marxist school of thought, and the jargon often seems impenetrable to the uninitiated. These notes are intended to provide a guide to some key concepts.
Marxist theorists tend to emphasize the role of the mass media in the reproduction of the status quo, in contrast to liberal pluralists who emphasize the role of the media in promoting freedom of speech.
The rise of neo-Marxism in social science represented in part a reaction against 'functionalist' models of society. Functionalists seek to explain social institutions in terms of their cohesive functions within an inter-connected, socio-cultural system. Functionalism did not account for social conflict, whereas Marxism offered useful insights into class conflict.
As the time of the European ascendancy of neo-Marxism in media theory (primarily in the 1970s and early 1980s), the main non-Marxist tradition was that of liberal pluralism (which had been the dominant perspective in the United States since the 1940s) (see Hall 1982: 56-65). As Gurevitch et al. put it:
Pluralists see society as a complex of competing groups and interests, none of them predominant all of the time. Media organizations are seen as bounded organizational systems, enjoying an important degree of autonomy from the state, political parties and institutionalized pressure groups. Control of the media is said to be in the hands of an autonomous managerial elite who allow a considerable degree of flexibility to media professionals. A basic symmetry is seen to exist between media institutions and their audiences, since in McQuail's words the 'relationship is generally entered into voluntarily and on apparently equal terms'... and audiences are seen as capable of manipulating the media in an infinite variety of ways according to their prior needs and dispositions, and as having access to what Halloran calls 'the plural values of society' enabling them to 'conform, accommodate, challenge or reject'. (Gurevitch et al. 1982: 1)
In contrast, they continue:
Marxists view capitalist society as being one of class domination; the media are seen as part of an ideological arena in which various class views are fought out, although within the context of the dominance of certain classes; ultimate control is increasingly concentrated in monopoly capital; media professionals, while enjoying the illusion of autonomy, are socialized into and internalize the norms of the dominant culture; the media taken as a whole, relay interpretive frameworks consonant with the interests of the dominant classes, and media audiences, while sometimes negotiating and contesting these frameworks, lack ready access to alternative meaning systems that would enable them to reject the definitions offered by the media in favour of consistently oppositional definitions. (ibid.)
Base and Superstructure
Economism (also called 'vulgar Marxism') is a key feature of 'classical Marxism' (orthodox or fundamentalist Marxism). In economism, the economic base of society is seen as determining everything else in the superstructure, including social, political and intellectual consciousness. Theories positing economic relations as the basic cause of social phenomena are also called materialist theories, and Marx's version is also known as 'historical materialism'. Economism is related to technological determinism. Marx is often interpreted as a technological determinist on the basis of such isolated quotations as: 'The windmill gives you society with the feudal lord: the steam-mill, society with the industrial capitalist' ('The Poverty of Philosophy', 1847).
Mass media research in this fundamentalist tradition interprets the 'culture industries' in terms of their economic determination. According to this view, 'the contents of the media and the meanings carried by their messages are... primarily determined by the economic base of the organizations in which they are produced' (Curran et al. 1982: 18). Consequently, 'commercial media organizations must cater to the needs of advertisers and produce audience-maximizing products (hence the heavy doses of sex-and-violence content) while those media institutions whose revenues are controlled by the dominant political institutions or by the state gravitate towards a middle ground, or towards the heartland of the prevailing consensus' (ibid.). Marxists of the 'political economy' variety (such as Graham Murdock) still see ideology as subordinate to the economic base. The base/superstructure model as applied to the mass media is associated with a concern with the ownership and control of the media.
Critics regard economism as reductionist, failing to account for diversity. Althusserian Marxists propose 'the relative autonomy of the superstructure with respect to the base... [and] the reciprocal action of the superstructure on the base' (Althusser, cited in Lapsley & Westlake 1988: 5; my emphasis). According to this view, ideological practices such as the mass media are relatively autonomous from economic determination (see Stevenson 1995: 15-16). The notion of 'relative autonomy' has been subject to criticism (e.g. by Paul Hirst in 1977: see Lapsley & Westlake 1988: 13-14; Curran et al. 1982: 25).
Under the influence of Althusser, Stuart Hall and other 'culturalist' Marxists reject the base/superstructure formulation, arguing that there is a dialectic between what Marx termed 'social being' and 'social consciousness' (Curran et al. 1982: 27).
Media as means of production
The mass media are, in classical Marxist terms, a 'means of production', which in capitalist society are in the ownership of the ruling class. According to the classical Marxist position, the mass media simply disseminate the ideas and worldviews of the ruling class, and deny or defuse alternative ideas. This is very much in accord with Marx's argument that:
The class, which has the means of material production at its disposal has control at the same time over the means of mental production, so that thereby, generally speaking, the ideas of those who lack the means of mental production are subject to it. (Marx & Engels: The German Ideology, cited in Curran et al. 1982: 22).
According to this stance, the mass media functioned to produce 'false consciousness' in the working-classes. This leads to an extreme stance whereby media products are seen as monolithic expressions of ruling class values, which ignores any diversity of values within the ruling class and within the media, and the possibility of oppositional readings by media audiences.
Ideology
A central feature of Marxist theory is the 'materialist' stance that social being determines consciousness. According to this stance, ideological positions are a function of class positions, and the dominant ideology in society is the ideology of its dominant class. This is in contrast to the 'idealist' stance that grants priority to consciousness (as in Hegelian philosophy). Marxists differ with regard to this issue: some interpret the relationship between social being and consciousness as one of direct determination; others stress a dialectical relationship.
In fundamentalist Marxism, ideology is 'false consciousness', which results from the emulation of the dominant ideology by those whose interests it does not reflect. From this perspective the mass media disseminate the dominant ideology: the values of the class, which owns and controls the media. According to adherents of Marxist political economy the mass media conceal the economic basis of class struggle; 'ideology becomes the route through which struggle is obliterated rather than the site of struggle' (Curran et al. 1982: 26).
Althusser rejected the notion of false consciousness, stressing that ideology is the medium through which we experience the world (Curran et al. 1982: 24). Althusserian Marxism stresses the irreducibility and materiality of ideology: i.e., ideology is seen as a determining force in its own right. The ideological operation of the mass media in the West contributes to the reproduction of the capitalist system.
Another Marxist theorist of ideology, Valentin Volosinov, has been influential in British cultural studies. Volosinov argued that a theory of ideology which grants the purely abstract concept of consciousness an existence prior to the material forms in which it is organized could only be metaphysical. Ideological forms are not the product of consciousness but rather produce it. As Tony Bennett notes: 'Rather than being regarded as the product of forms of consciousness whose contours are determined elsewhere, in the economic sphere, the signifying systems which constitute the sphere of ideology are themselves viewed as the vehicles through which the consciousness of social agents is produced' (Bennett 1982: 51).
Clearly, Marxist theorists agree that the mass media has ideological power, but disagree as to its nature.
Media as amplifiers
In Marxist media analysis, media institutions are regarded as being 'locked into the power structure, and consequently as acting largely in tandem with the dominant institutions in society. The media thus reproduced the viewpoints of dominant institutions not as one among a number of alternative perspectives, but as the central and "obvious" or "natural" perspective' (Curran et al. 1982: 21).
According to adherents of Marxist political economy, in the mass media there is a tendency to avoid the unpopular and unconventional and to draw on 'values and assumptions which are most valuable and most widely legitimated' (Murdock & Golding 1977: 37, cited in Curran et al. 1982: 26).
As Curran et al. note, most researchers in the Marxist tradition in Britain (such as Stuart Hall) have approached the issue of media portrayals of violence in terms of whether such portrayals have served 'to legitimize the forces of law and order, build consent for the extension of coercive state regulation and de-legitimate outsiders and dissidents'. 'They have thus examined the impact of the mass media in situations where mediated communications are powerfully supported by other institutions such as the police, judiciary and schools... The power of the media is thus portrayed as that of renewing, amplifying and extending the existing predispositions that constitute the dominant culture, not in creating them' (Curran et al. 1982: 14; see also ibid.: 27).
Similarly, 'some Marxist commentators have contended that media portrayals of elections constitute dramatized rituals that legitimate the power structure in liberal democracies; voting is seen as an ideological practice that helps to sustain the myth of representative democracy, political equality and collective self-determination. The impact of election coverage is thus conceived in terms of reinforcing political values that are widely shared in Western democracies and are actively endorsed by the education system, the principal political organizations and the apparatus of the state' (Curran et al. 1982: 15).
The constitution of the subject
Marxist theorists make a particular kind of distinction between subject and object. Tony Bennett notes that the historical dialectic involves a mutually interactive relationship between the subject (human agents) and the object (the conditions of their existence) (Bennett 1982: 42). Fiske distinguishes 'the subject' thus:
The individual is produced by nature; the subject by culture. Theories of the individual concentrate on differences between people and explain these differences as natural. Theories of the subject, on the other hand, concentrate on people's common experiences in a society as being the most productive way of explaining who (we think) we are... The subject... is a social construction, not a natural one. (Fiske 1992: 288; my emphases)
In Marxist thought, individuals are 'constituted' as the bearers of positions through the effects of social relations (Lapsley & Westlake 1988: 7). This is referred to as 'the constitution of the subject'.
Althusser rejected the humanist notion of the individual as a self-conscious, autonomous being whose actions could be explained in terms of personal beliefs, intentions, preferences and so on (Lapsley & Westlake 1988: 14-15). He introduced the concept of a mechanism of interpellation, whereby subjects are constituted as the effects of pre-given structures. Ideology functions to constitute individuals as subjects. Individuals are interpellated (have social identities conferred on them) primarily through 'ideological state apparatuses' (ISAs), including the family, schooling and the mass media. It is through ISAs that people gain both a sense of identity and an understanding of reality (Lapsley & Westlake 1988: 8).
The notion that the human subject is constituted by pre-given structures is a general feature of structuralism, according to which subjectivity is determined by structures such as language, family relations, cultural conventions and other social forces (Lapsley & Westlake 1988: 10-11).
Althusser's notion of interpellation allows Marxist media theorists to explain the political function of mass media texts. 'As a pre-existing structure, the text interpellates the spectator, so constituting him or her as a subject' (Lapsley & Westlake 1988: 12). According to this view, the subject (viewer, listener, reader) is constituted by the text, and the power of the mass media resided in their ability to 'position' the subject in such a way that their representations were taken to be reflections of everyday reality.
Althusserian Marxism did not allow for the possibility of individuals resisting the process of interpellation, whereas ISAs are not invariably and completely successful; the subject can be agent as well as effect. Althusserian media theorists tended to see the text as the sole determinant of the subject's response (Lapsley & Westlake 1988: 15). They also treated the subject as 'unified', whereas subsequent Marxist theories have posited 'a contradictory, de-centred subject displaced across the range of discourses in which he or she participates' (Curran et al. 1982: 25).
Whilst Herbert Marcuse's (1972) portrayal of the power of the mass media tended to cast audiences as passive victims, neo-Marxist stances have typically come to grant more active roles to audiences. As Curran et al. put it, whilst dominant meaning systems are seen as 'moulded and relayed' by the mass media, they are also seen as 'adapted by audiences and integrated into class-based or "situated" meaning systems' (Curran et al. 1982: 15).

Differences within Marxism
The different schools of thought within Marxist media theory are variously framed by commentators. Michael Gurevitch and his colleagues listed three 'contending paradigms': 'structuralist', 'political economy' and 'culturalist' (Gurevitch et al. 1982: 8). Althusserian Marxism is structuralist. Purely structuralist analysis focuses on 'the internal articulation of the signifying systems of the media' (Curran et al. 1982: 28).
In the Marxist fundamentalist tradition, 'political economists' see ideology as subordinate to the economic base (Curran et al. 1982: 26). Work by Graham Murdock (Murdock & Golding 1977; Murdock 1982) represents the 'critical' political economy approach, locating the power of media in the economic processes and structures of media production. Ownership and economic control of the media is seen as the key factor in determining control of media messages.
Work by Stuart Hall (e.g. Hall et al. 1978) represents the Marxist culturalist approach, which sees the mass media as a powerful (if secondary) influence in shaping public consciousness (Curran et al. 1982: 28). Culturalism follows Althusserian structuralism in rejecting economism, but unlike structuralism, it emphasizes the actual experience of sub-groups in society and contextualizes the media within a society, which is seen as 'a complex expressive totality' (Curran et al. 1982: 27). The culturalist approach is reflected in the work of the Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS) at the University of Birmingham, of which Stuart Hall was once the director.
As Curran et al. put it, 'Marxist theorists vary in their accounts of the determination of the mass media and in their accounts of the nature and power of mass media ideologies' (Curran et al. 1982: 23).
The Frankfurt School
The Frankfurt School of 'critical theory' was regarded by orthodox Marxists as 'revisionist' partly because it criticised economism and crude materialism, and partly because of its eclecticism. In media theory it is important for offering the first Marxist attempt to theorize about the media (Gurevitch et al. 1982: 8). However, it provided no real way forward for the study of the mass media (Curran et al.1982: 23). The most notable theorists connected with the Frankfurt School were Theodor Adorno, Herbert Marcuse and Max Horkheimer - all committed Marxists - who were associated with the Institute for Social Research, which was founded in Frankfurt in 1923 but shifted in 1933 to New York.
The Frankfurt School was influenced by predominantly conservative notions of 'mass society', though it gave this perspective a leftist slant (Bennett 1982: 42). The so-called 'father of the New Left', Herbert Marcuse, in One-Dimensional Man (1972), presented the media very pessimistically as an irresistible force:
The means of... communication..., the irresistible output of the entertainment and information industry carry with them prescribed attitudes and habits, certain intellectual and emotional reactions which bind the consumers... to the producers and, through the latter to the whole [social system]. The products indoctrinate and manipulate; they promote a false consciousness, which is immune against its falsehood... Thus emerges a pattern of one-dimensional thought and behaviour. (Marcuse, cited in Bennett 1982: 43).
For Marcuse, the mass media defined the terms in which we may think about the world (Bennett 1982: 44). The Frankfurt School in general was profoundly pessimistic about the mass media. As Janet Woollacott puts it, their work 'gives to the mass media and the culture industry a role of ideological dominance which destroys both bourgeois individualism and the revolutionary potential of the working class' (Woollacott 1982: 105).
Theodor Adorno and Max Horkheimer (1972, cited in Bennett 1982: 31) coined the phrase 'the culture industry', referring to the collective operations of the media. The Frankfurt School's focus on ideology helped to undermine economism, but it was criticized by other Marxists for elitism and for Hegelian idealism (Bennett 1982: 47).
Althusser
Louis Althusser (b. 1918) was a French Marxist philosopher who saw Marxism as a science. His work is in the structuralist tradition. One feature of Althusserian Marxism is a rejection of Marx's Hegelian essentialism. Essentialism is a reduction of things to a single principle or essence. Althusser rejected two kinds of Marxist essentialism: economism (economic determinism) and humanism (in which social developments were seen as expressive of a pre-given human nature). So, Althusserian Marxism is anti-economist and anti-humanist. In rejecting economism he saw ideology as itself a determining force shaping consciousness, embodied in the material signifying practices of 'ideological state apparatuses', and enjoying 'relative autonomy'. Althusser's work represents a move away from a preoccupation with economic determination.
Ideology, for Althusser 'represents the imaginary relationship of individuals to their real conditions of existence' (cited in Stevenson 1995: 37). Ideology transforms human beings into subjects, leading them to see themselves as self-determining agents when they are, in fact, shaped by ideological processes.
Tony Bennett notes that since he represents all ideological forms as contributing to the reproduction of the existing system, Althusser comes 'dangerously close to functionalism', representing capitalist society as monolithic, and failing to allow for internal conflict (Bennett 1982: 53). Stuart Hall adds that in Althusser's theory it is difficult 'to discern how anything but the "dominant ideology" could ever be reproduced in discourse' (Hall 1982: 78). In Althusserian theory mass media texts 'interpellate the subject' whereas many current media theorists argue that the subject projects meaning onto the media texts. For the notion of a 'struggle over meaning' one must turn to Volosinov and Gramsci. Althusser's influence has been held responsible by some critics for leading some of his followers into purely formalist readings of the signifying systems of mass media forms, neglecting their modes of production and reception. However, Althusser is 'the central conduit through which developments in structuralism and semiotics have both entered into and lastingly altered Marxist approaches to the media' (Bennett 1982: 53).
For useful general accounts of Althusserian Marxism see: Lapsley & Westlake 1988: 3-16; Gurevitch et al. 1982: 23-5; Bennett 1982: 51-3; White 1992: 168-9; Fiske 1992: 286-88.
Gramsci and hegemony
Antonio Gramsci, an Italian (1891-1937), was a leading Marxist thinker. Like Althusser, he rejected economism, insisting on the independence of ideology from economic determinism. Gramsci also rejected crude materialism, offering a humanist version of Marxism, which focused on human subjectivity.
Gramsci used the term hegemony to denote the predominance of one social class over others (e.g. bourgeois hegemony). This represents not only political and economic control, but also the ability of the dominant class to project its own way of seeing the world so that those who are subordinated by it accept it as 'common sense' and 'natural'. Commentators stress that this involves willing and active consent. Common sense, suggests Geoffrey Nowell-Smith, is 'the way a subordinate class lives its subordination' (cited in Alvarado & Boyd-Barrett 1992: 51).
However, unlike Althusser, Gramsci emphasizes struggle. He noted that 'common sense is not something rigid and immobile, but is continually transforming itself' (Gramsci, cited in Hall 1982: 73). As Fiske puts it, 'Consent must be constantly won and rewon, for people's material social experience constantly reminds them of the disadvantages of subordination and thus poses a threat to the dominant class... Hegemony... posits a constant contradiction between ideology and the social experience of the subordinate that makes this interface into an inevitable site of ideological struggle' (Fiske 1992: 291). References to the mass media in terms of an ideological 'site of struggle' are recurrent in the commentaries of those influenced by this perspective. Gramsci's stance involved a rejection of economism since it saw a struggle for ideological hegemony as a primary factor in radical change.
Criticisms of Althusser's theory of ideology drew some neo-Marxists to Gramsci's ideas.
Stuart Hall, now Professor of Sociology at the Open University, was a major figure in the revival of the British political Left in the 1960s and '70s. Following Althusser, he argues that the media appear to reflect reality whilst in fact they construct it.
Janet Woollacott (1982: 108-110) offers a useful critique of Policing the Crisis, a key work by Stuart Hall et al. (1978). The work reflects an analysis of the signifying practices of the mass media from the perspective of Marxist culturalist theory inflected through Gramsci's theory of hegemony, and 'an Althusserian conception of the media as an ideological state apparatus largely concerned with the reproduction of dominant ideologies', claiming relative autonomy for the mass media (Woollacott 1982: 110). For Hall et al. the mass media do tend to reproduce interpretations, which serve the interests of the ruling class, but they are also 'a field of ideological struggle'. The media signification system is seen as relatively autonomous. 'The news' performs a crucial role in defining events, although this is seen as secondary to the primary definers: accredited sources in government and other institutions. The media also serve 'to reinforce a consensual viewpoint by using public idioms and by claiming to voice public opinion' (Woollacott 1982: 109).
Stuart Hall has also addressed theoretically the issue of how people make sense of media texts. He parts from Althusser in emphasizing more scope for diversity of response to media texts. In a key paper, 'Encoding/Decoding', Stuart Hall (1980), argued that the dominant ideology is typically inscribed as the 'preferred reading' in a media text, but that this is not automatically adopted by readers. The social situations of readers/viewers/listeners may lead them to adopt different stances. 'Dominant' readings are produced by those whose social situation favours the preferred reading; 'negotiated' readings are produced by those who inflect the preferred reading to take account of their social position; and 'oppositional' readings are produced by those whose social position puts them into direct conflict with the preferred reading (see Fiske 1992 for a summary and Fiske's own examples, and Stevenson 1995: pp 41-2). Hall insists that there remain limits to interpretation: meaning cannot be simply 'private' and 'individual' (Hall 1980: 135).
Hall's emphasis on ideology has been criticized for being at the expense of the importance of ownership and control (Stevenson 1995: 35).
Limitations of Marxist analysis
Critics argue that Marxism is just another ideology (despite claims by some that historical materialism is an objective science). Some Marxists are accused of being 'too doctrinaire' (see Berger 1982). Fundamentalist Marxism is crudely deterministic, and also reductionist in its 'materialism', allowing little scope for human agency and subjectivity. Marxism is often seen as 'grand theory', eschewing empirical research. However, research in the Marxist 'political economy' tradition in particular does employ empirical methods. And the analysis of media representations does include close studies of particular texts.
The orthodox Marxist notion of 'false consciousness' misleadingly suggests the existence of a reality 'undistorted' by mediation. The associated notion that such consciousness is irresistibly induced in mass audiences does not allow for oppositional readings. Marxist perspectives should not lead us to ignore the various ways in which audiences use the mass media.
Neo-Marxist stances have in fact sought to avoid these pitfalls. The primary Marxist emphasis on class needs to be (and had increasingly been) related to other divisions, such as gender and ethnicity.
Strengths of Marxist analysis
Unlike many approaches to the mass media Marxism acknowledges the importance of explicit theory. Marxist 'critical theory' exposes the myth of 'value-free' social science. Marxist perspectives draw our attention to the issue of political and economic interests in the mass media and highlight social inequalities in media representations. Marxism helps to situate media texts within the larger social formation. Its focus on the nature of ideology helps us to deconstruct taken-for-granted values. Ideological analysis helps us to expose whose reality we are being offered in a media text. Whilst Althusserian Marxism helps to undermine the myth of the autonomous individual, other neo-Marxist stances see the mass media as a 'site of struggle' for ideological meaning, opening up the possibility of oppositional readings.
Marxist theory emphasizes the importance of social class in relation to both media ownership and audience interpretation of media texts: this remains an important factor in media analysis. Whilst content analysis and semiotics may shed light on media content, marxist theory highlights the material conditions of media production and reception. 'Critical political economists' study the ownership and control of the media and the influence of media ownership on media content cannot be ignored. It also remains important to consider such issues as differential access and modes of interpretation which are shaped by socio-economic groupings. Marxist media research includes the analysis of representation in the mass media (e.g. political coverage or social groups) in order to reveal underlying ideologies. We still need such analyses: however oppositional it may sometimes be, audience interpretation continues to operate in relation to such content. Because of the distribution of power in society, some versions of reality have more influence than others.
References
• Allen, Robert C. (Ed.) (1992): Channels of Discourse, Reassembled. London: Routledge
• Althusser, Louis (1971): 'Ideology and ideological state apparatuses'. In Lenin and Philosophy, and Other Essays. London: New Left Books
• Alvarado, Manuel & Oliver Boyd-Barrett (Eds.): Media Education: An Introduction. London: BFI/Open University
• Bennett, Tony (1982): 'Theories of the media, theories of society'. In Gurevitch et al. (Eds.), op. cit.
• Berger, Arthur Asa (1982): Media Analysis Techniques. Newbury Park, CA: Sage (Chapter 2, 'Marxist Analysis') [easy, but largely too easy]
• Boyd-Barrett, Oliver (1992): 'The Social Science Tradition'. In Alvarado & Boyd-
• Barrett (Eds.), op. cit. [section from pp. 174ff]
• Curran, James, Michael Gurevitch & Janet Woollacott (1982): 'The study of the media: theoretical approaches'. In Gurevitch et al. (Eds.), op. cit. [very useful]
• Fiske, John (1992): 'British Cultural Studies and Television'. In Allen (Ed.), op. cit. [includes summary of Hall's account of 'preferred readings' and alternative reading strategies: pp 292-3]
• Gramsci, Antonio (1971): Selections from the Prison Notebooks. London: Lawrence & Wishart
• Gurevitch, Michael, Tony Bennett, James Curran & Janet Woollacott (Ed.) (1982): Culture, Society and the Media. London: Methuen (Part 1, 'Class, Ideology and the Media')
• Hall, Stuart (1980): 'Encoding/decoding'. In Centre for Contemporary Cultural Studies (Ed.): Culture, Media, Language. London: Hutchinson [important paper, though not initially an easy read]
• Hall, Stuart (1982): 'The rediscovery of "ideology": return of the repressed in media studies'. In Gurevitch et al. (Eds.), op. cit. [a key article by Hall]
• Hall, Stuart, C. Critcher, T. Jefferson, J. Clarke & B. Roberts (1978): Policing the Crisis. London: Macmillan
• Lapsley, Robert & Michael Westlake (1988): Film Theory: An Introduction. Manchester: Manchester University Press (Chapter 1, 'Politics': pages 1-17 offer a very useful account of Althusserian Marxism)
• Marcuse, Herbert (1972): One-Dimensional Man. London: Abacus [not for the faint-hearted]
• McQuail, Denis (1987): Mass Communication Theory. London: Sage (Chapter 3, 'Theory of Media and Theory of Society'; Chapter 4, 'Media Theory Applied: Power, Integration and Change')
• Murdock, Graham (1982): 'Large Corporations and the Control of the Communications Industries'. In Gurevitch et al. (Eds.), op. cit.
• Murdock, Graham and Peter Golding (1977): 'Capitalism, communication and class relations'. In James Curran, Michael Gurevitch & Janet Woollacott (Eds.): Mass Communication and Society. London: Arnold
• Stevenson, Nick (1995): Understanding Media Cultures: Social Theory and Mass Communication. London: Sage (Chapter 1: 'Marxism and Mass Communication Research')
• Strinati, Dominic (1995): An Introduction to Theories of Popular Culture. London: Routledge (Chapter 4: 'Marxism, Political Economy and Ideology', pp. 127-76)
• White, Mimi (1992): 'Ideological Analysis and Television'. In Allen (Ed.), op. cit. [useful overview pp. 163-170,with good bibliography]
• Woollacott, Janet (1982): 'Messages and Meanings'. In Gurevitch et al. (Eds.), op. cit. [Useful review of Hall et al. 1978]
[See also general reference works on mass media, politics and sociology]
DanielChandler
UWA 1994

Wednesday, February 16, 2005

Representasi Machoisme dalam Film Hollywood

Representasi Machoisme dalam Film Hollywood
Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si

Film Hollywood dengan segala macam genrenya sat ini menjadi raja perfilman dunia, di mana film produksi Hollywood dengan secara ekstensif dan serempak pula secara intensif menyebar ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Sekaligus pula, film Hollywood mampu menjadikan dirinya sebagai trendsetter dalam perfilman.
Di akhir dekade 1970-an, film produksi Hollywood memperkenalkan perspektif baru dalam merepresentasikan laki-laki. Setelah sebelumnya laki-laki ditampilkan sebagi koboi, mata-mata, detektif atau ilmuwan muda berbakat, maka era tersebut menggambarkan laki-laki sebagai kelas pekeja, yang berasal dari kaum kulit putih. Film-film seperti Saturday Night Fever, Blue Collar, Bloodbrothers, Rocky I dan II, Paradise Alley, FIST dan sebagainya dengan secara jelas merepresentasikan petanda ini.
Berbeda dengan film-film yang diproduksi di tahun 1950-an yang menampilkan laki-laki dalam situasi yang stabil yang mederat terhadap aturan sosial. Kehidupan seksual mereka juga ditandai dengan kehidupan heteroseksual. Tahun 1960-an laki-laki yang ditampilkan dalam film Hollywood diwarnai dengan kehidupan laki-laki yang gemerlap serta kekerasan yang mereka lakukan.
Perang Vietnam dan skandal Watergate membuka wacana baru dalam representasi laki-laki dalam film Hollywood. Film The Godfather membangkitkan kembali pesona patriarki di mana keluarga direstorasi dan komunitas diciptakan ulang. Namun demikian kesemuanya masih dalam kungkungan dunia laki-laki, bukan karena perempuan dieksklusi, namun karena laki-laki dipercaya masih mampu mengatur semua hal.
Lebih lanjut, otoritas dipercayai untuk dipegang oleh laki-laki yang kuat dan laki-laki yang masih berusia muda harus menguji kekuatannya agar diakui oleh komuitasnya. Namun pada saat yang bersamaan, The Godfather memperkenalkan ambivilensi Hollywood terhadap latar belakang patriarki dan etnisitas serta maskulinitas yang mungkin ditampilkan.
Ada dua pendekatan terhadap film Hollywood seperti yang telah dicontohkan di atas. Pendekatan pertama melihatnya sebagai bentuk dari realisme sosial. Kemudian pertanyaannya adalah akurasi atau ketepatan korespodensi : untuk perluasan apa kelas pekerja ditampilkan dalam film ini berkaitan dengan pengalaman kritis atau imaginasi ? kelompok apa yang telah dieksklusikan ? Apa yang sebenarnya dan tidak sebenranya benar-benar terjadi ? Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk untuk menemukan kelas pekerja “yang sebenarnya”, dan kemudisn ini juga sering dinamakan sebagai proyek representasi.
Pendekatan kedua mencoba melihat film yang berasal dari Hollywood berguna sebagai kontrol sosial, di mana teks yang ditampilkan dalam film Hollywood dipahami sebagai alat untuk melakukan fungsi pengawasan sosial oleh kelas dominan, yang tentu saja adalah para pemodal dan pemerintah. Film Rocky misalnya menggambarkan laki-laki Amerika yang ideal yang dapat menaklukan seorang petinu dari Uni Sovyet yang saat itu merupakan rival terkuat Amerika Serikat. Film Top Gun juga berusaha untuk membujuk generasi muda Amerika untuk bergabung dengan Angkatan Bersenjata, suatu hal yang dibenci oleh generasi muda Amerika pasca-Perang Vietnam.

Referensi Utama
Biskin, Peter dan Ehrenreich (1990), “Machismo and Hollywood’s Working Class”, dalam Lazere, Donald [ed]. American Media and Mass Culture, Left Perspectives. Barkeley, University of Califoria Press hal.201 – 215

Lima Genre Utama Teori Media Kritis

Lima Genre Utama Teori Media Kritis
Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si

Setidaknya ada lima genre utama dari teori media kritis, sebagaimana yang dikemukakan oleh para peneliti ilmu komunikasi seperti pendapat Dennis McQuail. Pertama adalah pendekatan Marxisme klasik. Di dalam pendekatan ini, media dilihat sebagai alat dari kelas yang dominan untuk mempertahankan status quo yang dipegangnya dan sebagai sarana kelas pemilik modal berusaha melipatgandakan modalnya. Media tentu saja dalam hal ini selalu menyebarkan ideologi dari kelas yang berkuasa dalam masyarakat dan maka dari itu menekan kelas-kelas tertentu. Sebagaimana dikatakan oleh Marx dan Engels
The ideas of the ruling class are in every epoch the ruling ideas, i.e. the class which is the ruling material force of society, is at the same time its ruling intellectual force. The class which has the means of material production at its disposal, has control at the same time over the means of mental production, so that thereby, generally speaking, the ideas who lack the means of mental production aresubject of it (Marx and Engels dalam Storey [ed],1995 : 196).

Kedua adalah teori ekonomi-politik media (political economy media theory). Menurut Vincent Moscow dalam bukunya The Political Economy of Communication (1998), pendekatan dengan teori ini pada intinya berpijak pada pengertian ekonomi politik sebagai studi mengenai relasi sosial, khususnya yang menyangkut relasi kekuasaan, baik dalam produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya (resourches). Dalam ekonomi politik komunikasi, sumber daya ini dapat berupa surat kabar, majalah, buku, kaset, film, internet dan sebagainya (Mosco, 1998 : 25). Seperti teori Marxisme Klasik, teori ini menganggap bahwa kepemilikan media pada segelintir elit pengusaha telah menyebabkan patologi atau penyakit sosial. Dalam pemikiran ini, kandungan media adalah komoditas yang dijual di pasar, dan informasi yang disebarluaskan dikendalikan oleh apa yang pasar akan tanggung. Sistem ini membawa implikasi mekanisme pasar yang tidak ambil resiko, suatu bentuk mekanisme pasar yang kejam karena membuat media tertentu mendominasi wacana publik dan lainnya terpinggirkan. Beberapa realitas kontemporer di dalam media menjadikan kajian ekonomi-politik menjadi penting (McQuail, 2002:83). Pertama, pertumbuhan konsentrasi kepemilikan media di tangan segelintir orang saja, seperti Media Citra Nusantara yang menguasai bisnis televisi di Indonesia melalui RCTI, TPI dan Global TV.
Kedua, perkembangan global ekonomi-informasi (information economy) yang melibatkan bisnis telekomunikasi, film dan penyiaran seperti yang terjadi di Amerika Serikat di sekitar masa peralihan milenium. Agar tetap eksis, tak ada jalan lain bagi para pengusaha film selain menurunkan egonya dan mulai ikut-ikutan memproduksi film-film televisi, serial atau lepas. Di puncak simbiosis, konglomerat film dan hiburan seperti
Warner, Paramount, Fox, dan Disney memutuskan untuk melakukan langkah
agresif dalam perluasan konglomerasi investasinya di dunia penyiaran, dengan membeli stasiun-stasiun televisi terkemuka yang ada di Amerika dengan dana yang tidak kecil. Dalam keputusan itu, Disney membeli ABC, Viacom mengambil alih CBS, dan belakangan Warner setelah merger dengan konglomerat media Time dan
American Online (AOL) mengakuisisi CNN. Di pihak lain, konglomerat film
20th Century Fox, setelah mendapat limpahan dana investasi dari Rupert
Murdoch yang juga memiliki MTV, membuat Fox TV.
Ketiga, turunnya peran sektor publik di dalam media massa dan juga merosotnya kontrol publik dalam telekomunikasi melalui paket kebijakan deregulasi, privatisasi dan liberalisasi. Penjualan saham Indosat di tahun 2003-2004 kepada Singtel, Singapura adalah bukti nyata dari hal ini. Keempat adalah kepemilikan silang (cross ownership) yang semakin mendominasi pasar. Di Indonesia, Kelompok Kompas Gramedia dan Jawa Pos Grup merupakan dua konglomerasi yang memiliki berbagai lini usaha media, seperti koran, tabloid, majalah dan televisi.
Genre ketiga adalah Mahzab Frankfurt (the Frankfurt School) yang menggabungkan pemikiran Marx muda, psikoanalisis, dan hermenuitika. Pada awalnya mahzab ini dibangun oleh Max Horkheimer untuk mengkaji realitas kontemporer masyarakat Eropa, namun setelah Nazi berkuasa para pemikir mahzab ini banyak yang mengungsi ke Amerika Serikat. Selain Horkheimer, tokoh-tokoh aliran ini adalah Theodore W. Adorno, Herbert Marcuse, Erich Fromm dan terakhir adalah Jurgen Habermas. Pokok pemikiran ini dalam studi media adalah media sebagai sarana pembangunan budaya. Dalam cara pikir ini, media membimbing kepada dominasi ideologi dari elite industri budaya (culture industries). Hasilnya adalah dilaksanakan oleh manipulasi image media dan simbol-simbol untuk menguntungkan kepentingan kelas yang dominan. Budaya massa yang lahir dari komunikasi massa menurut mereka adalah bentuk budaya yang afirmatif yang ditandai dengan adanya komodifikasi, massifikasi dan standarisasi. Massifikasi dan standarisasi dalam budaya massa terjadi sebagai akibat dari proses produksi yang massif, sedangkan komodifikasi berarti peralihan nilai guna (use vale) komoditas ke dalam nilai tukar (exchange value) atau bahkan nilai tanda (sign value) semata.
Genre yang keempat adalah teori hegemoni yang diutarakan oleh Antonio Gramsci, seorang pemikir Italia yang menghasilkan karya besarnya saat dikurung dalam penjara oleh pemerintahan Mussolini. Hegemoni adalah dapat diartikan sebagai suatu kondisi di mana kelas yang berkuasa mampu mengadakan kepemimpinan moral dan intelektual (moral and intellectual leadership). Ini yang membedakan hegemoni dan dominasi, di mana jika hegemoni berlangsung secara ideologis (by ideology), maka di sisi yang berbeda dominasi berjalan melalui kekerasan (by violence). Ideologi dalam pandangan Gramsci tidak hanya dilandasi oleh sistem ekonomi saja namun tertanam secara dalam dalam semua aktifitas masyarakat. Sehingga, ideologi berartikulasi dalam kehidupan dengan tidak dipaksakan oleh satu kelompok namun adalah menembus dan di luar kesadaran. Lalu, apa sebenarnya yang dinamakan sebagai ideologi? Pertanyaan yang kelihatan singkat dan sederhana ini akan coba diurai dengan pemikiran Louis Althusser, seorang pemikir strukturalis Prancis yang cukup berpengaruh di masanya dengan banyak menggunakan pemikiran Gramsci dalam kajianya. Gaung pemikiran Althusser yang sempat menjadi trend pemikiran di tahun 1960-an masih bergema sampai saat ini.
Untuk mengkaji ideologi , Althusser memperkenalkan dua istilah kunci yaitu Ideological State Apparatus (ISA) dan Repressive State Apparatus (RSA). Dalam terminologi marxian, aparat negara yang represif (State Apparatus) terdiri dari pemerintah, tentara, polisi, birokrasi, pengadilan, penjara dsb. Inilah yang oleh Althusser kemudian dinamakan sebagai RSA. RSA menjalankan fungsinya melalui kekerasan (by violence), baik dalam bentuk kekerasan fisik maupun non fisik.
Sedangkan ISA menjalankan fungsinya secara ideologis (by ideology ). Pada titik inilah terlihat secara jelas perbedaan antara ISA dan RSA. Karena itu ISA tidak bisa disamarkan dengan RSA. Secara lebih jelas Althusser memaparkan hal ini dengan beberapa alasan yaitu bahwa, pertama, hanya ada satu RSA, namun pada sisi yang lain terdapat pluralitas ISA. Kedua, RSA bergerak terbatas ada wilayah publik, sedangkan ISA dapat bergerak ke wilayah privat, seperti melalui lembaga agama, keluarga, sekolah, media massa dsb.
Memang, RSA dapat menjalankan fungsinya baik melalui kekerasan maupun ideologi , tetapi RSA berfungsi secara massif dan didominasi dengan kekerasan. Artinya memang tidak ada RSA yang benar-benar menjalankan fungsinya hanya melalui kekerasan semata, misalnya polisi atau militer yang juga berfungsi secara ideologis untuk menanamkan aturan untuk menjaga stabilitas. Namun hal ini tidak dapat disebut sebagai ISA karena dalam ISA, fungsi primernya adalah secara ideologis baru kemudian secara sekunder melalui kekerasan. Bagi Althusser tidak ada kelas dalam masyarakat yang dapat memegang kekuasaan tanpa melakukan hegemoni dan menjalankan ISA.
Kembali pada pertanyaan awal, apa sebenarnya yang dinamakan sebagai ideologi ? Ada dua tesis dari Althusser untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, ideologi menghadirkan imaginary relationship antara individu dengan eksistensi kondisi realitasnya, seperti yang dikenal sebagai ideologi agama, ideologi etika, ideologi hukum, ideologi politik dsb. Tesis ini memperoleh satu pertanyaan menarik yaitu mengapa manusia memerlukan imaginary relationship? Menurut Feurbach dan kemudian dikembangkan oleh Marx, hal inilah yang dinamakan sebagai alienasi (keterasingan) manusia dari realitasnya.
Tesis kedua,ideologi mempunyai eksistensi material. Ideologi tidak dapat dibatasi sebagai ide semata, namun ia memiliki aspek material yang berupa aparat yang menjalankannya dan praktik ideologi bersangkutan dalam realitas kehidupan.
Dari kekompakan kerja antara RSA dan ISA inilah yang menjadikan individu-individu seakan-akan takluk begitu saja di hadapan kekuasaan negara. Dari sinilah kemudian Althusser mendefinisikan ideologi dalam dua tesis utama, sebagimana telah disinggung di atas yaitu: Pertama, ideologi merepresentasikan secara imajiner relasi antara individu-individu dengan kondisi eksistensinya yang nyata. Kedua, ideologi tidak dapat dipahami semata-mata sebagai sebuah gagasan, namun juga memiliki keberadaannya secara material. Akhirnya, ideologi menempatkan individu sebagai subyek tertentu dalam masyarakat. Cara bekerja dari ideologi ini adalah dengan melakukan interpelasi (pemanggilan) di mana individu yang merasa namanya disebut secara otomatis akan menoleh ke arah kekuatan (negara) yang memanggil tadi.
Apabila kita mencoba menggabungkan gagasan Gramsci dan Althusser maka media massa dan individu-individu yang bekerja di dalamnya termasuk dalam lingkup masyarakat sipil dan ISA. Ini disebabkan media massa tidaklah berfungsi dengan cara-cara penindasan secara fisik, melainkan dengan menyebarkan gagasan-gagasan dominan yang diproduksi oleh kelas yang dominan yang sedang menguasai negara.
Pendekatan terakhir pada studi media marxist adalah pendekatan sosiokultural, biasanya disebut sebagai cultural studies atau yang bisa diterjemahkan sebagai studi budaya. Pemikiran dalam studi budaya banyak memanfaatkan semiotika yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure dan Roland Barthes untuk mengkaji realitas melalui kajian yang dilakukan oleh Raymond Williams, Stuart Hall dan kawan-kawan dari Centre for Cotemporary Cultural Studies di Birmingham University, Inggris. Karena berasal dari Birmingham, pemikiran ini juga disebut sebagai Birmingham School. Mereka tertarik dengan makna kultural dari produk media, melihat kepada cara isi media diinterpretasikan, termasuk di dalamnya yaitu interpretasi dominan dan opposisional.
Studi budaya melihat masyarakat sebagai bidang kompetisi ide-ide dalam pertarungan antarmakna (site of strunggle). Misalnya, film-film Hollywood yang nyaris selalu menampilkan pahlawan (protagonis) dari kalangan WASP (white, anglo-saxon and protestant), dan secara oposisi biner (binary oposition) merepresentasikan kulit hitam, Asia, Arab dan Latin sebagai ”yang lain” (the other) yang jahat dan tidak berperadaban. Film ”Rambo I” misalnya, menampilkan Rambo sebagai representasi WASP yang datang melawan tentara Viet cong yang dibantu Uni Sovyet yang bengis terhadap tawanan perang (prisoner of war). ”Iron Eagle IV” menggambarkan seorang anak muda Amerika yang membebaskan ayahnya yang ditawan tentara dari sebuah rezim antah berantah di Daratan Arab yang bengis yang dipimpin oleh diktator yang direpresentasikan mirip dengan Saddam Hussein.
Dalam studi budaya, kata kunci yang sering digunakan adalah artikulasi, yang oleh artikulasi inilah ideologi memiliki kedudukan yang berbeda-beda di masyarakat. Artikulasi dipahami sebagai proses pemahaman realitas yang ditimbulkan oleh banyak sumber. Pengalaman kita yang “terbagi” ini tampak nyata dikarenakan adanya koneksi atau artikulasi diantara beberapa sumber verifikasi.
Musik punk misalnya, pada mulanya musik ini tumbuh berkembang terutama di Inggris dan kemudian baru berlanjut di Amerika, sebagai bentuk pemberontakan generasi muda terhadap musik rock yang dianggap telah ”mati”, karena tidak lagi mampu menyuarakan pemberontakan kaum muda terhadap kemapanan. Namun, pada perkembangannya musik punk, tidak lagi semata-mata berartikulasi sebagai media perlawanan anak muda namun juga mengalami pencaplokan (incorporation) yang dilakukan oleh kemapanan yang mereka lawan. Buktinya, banyak band punk seperti Ramones dan Rancid menikmati ketenaran dengan menjadi bagian major label. Uniknya walaupun sudah menjadi bagian dari sistem mereka masih menyuarakan perlawanan dalam lirik lagu mereka.

Ideology and Ideological States Apparatus

Ideology and Ideological States Apparatus
Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si

Apa itu ideologi? Pertanyaan yang kelihatan singkat dan sederhana ini akan coba diurai dengan pemikiran Louis Althusser, seorang pemikir strukturalis Prancis yang cukup berpengaruh di masanya, bahkan gaung pemikiran intelektualnya masih bergema sampai saat ini.
Untuk mengkaji ideologi , Althusser memperkenalkan dua istilah kunci yaitu Ideological State Apparatus (ISA) dan Repressive State Apparatus (RSA). Dalam terminologi marxian, aparat negara yang represif (State Apparatus) terdiri dari pemerintah, tentara, polisi, birokrasi, pengadilan, penjara dsb. Inilah yang oleh Althusser kemudian dinamakan sebagai RSA. RSA menjalankan fungsinya melalui kekerasan (by violence), baik dalam bentuk kekerasan fisik maupun non fisik.
Sedangkan ISA menjalankan fungsinya secara ideologis (by ideology ). Pada titik inilah terlihat secara jelas perbedaan antara ISA dan RSA. Karena itu ISA tidak bisa disamarkan dengan RSA. Secara lebih jelas Althusser memaparkan hal ini dengan beberapa alasan yaitu bahwa, pertama, hanya ada satu RSA, namun pada sisi yang lain terdapat pluralitas ISA. Kedua, RSA bergerak terbatas ada wilayah publik, sedangkan ISA dapat bergerak ke wilayah privat, seperti melalui lembaga agama, keluarga, sekolah, media massa dsb.
Memang, RSA dapat menjalankan fungsinya baik melalui kekerasan maupun ideologi , tetapi RSA berfungsi secara massif dan didominasi dengan kekerasan. Artinya memang tidak ada RSA yang benar-benar menjalankan fungsinya hanya melalui kekerasan semata, misalnya polisi atau militer yang juga berfungsi secara ideologis untuk menanamkan aturan untuk menjaga stabilitas. Namun hal ini tidak dapat disebut sebagai ISA karena dalam ISA, fungsi primernya adalah secara ideologis baru kemudian secara sekunder melalui kekerasan. Bagi Althusser tidak ada kelas dalam masyarakat yang dapat memegang kekuasaan tanpa melakukan hegemoni dan menjalankan ISA.
Kembali pada pertanyaan awal, apa sebenarnya yang dinamakan sebagai ideologi ? Ada dua tesis dari Althusser untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, ideologi menghadirkan imaginary relationship antara individu dengan eksistensi kondisi realitasnya, seperti yang dikenal sebagai ideologi agama, ideologi etika, ideologi hukum, ideologi politik dsb. Tesis ini memperoleh satu pertanyaan menarik yaitu mengapa manusia memerlukan imaginary relationship? Menurut Feurbach dan kemudian dikembangkan oleh Marx, hal inilah yang dinamakan sebagai alienasi (keterasingan) manusia dari realitasnya.
Tesis kedua,ideologi mempunyai eksistensi material. Ideologi tidak dapat dibatasi sebagai ide semata, namun ia memiliki aspek material yang berupa aparat yang menjalankannya dan praktik ideologi bersangkutan dalam realitas kehidupan.
Dari kekompakan kerja antara RSA dan ISA inilah yang menjadikan individu-individu seakan-akan takluk begitu saja di hadapan kekuasaan negara. Dari sinilah kemudian Althusser mendefinisikan ideologi dalam dua tesis utama, sebagimana telah disinggung di atas yaitu: Pertama, ideologi merepresentasikan secara imajiner hubungan antara individu-individu dengan kondisi eksistensinya yang real. Kedua, ideologi bukanlah semata-mata gagasan, namun juga memiliki keberadaannya secara material. Akhirnya, ideologi menempatkan individu sebagai subyek tertentu dalam masyarakat. Cara bekerja dari ideologi ini adalah dengan melakukan interpelasi (pemanggilan) di mana individu yang merasa namanya disebut secara otomatis akan menoleh ke arah kekuatan (negara) yang memanggil tadi.
Apabila kita mencoba menggabungkan gagasan Gramsci dan Althusser maka media massa serta kalangan jurnalis yang bekerja di dalamnya termasuk dalam lingkup masyarakat sipil dan ISA. Ini disebabkan media massa tidaklah berfungsi dengan cara-cara penindasan secara fisik, melainkan dengan menyebarkan gagasan-gagasan dominan yang diproduksi oleh kelas yang dominan yang sedang menguasai negara. Persoalannya adalah media massa yang sekarang ini ada kebanyakan dimiliki oleh pihak swasta. Ini berarti negara sangat sedikit memiliki peluang untuk melakukan campur tangan terhadap aktivitas yang dilakukan oleh media massa, baik dari segi permodalan maupun perizinan serta pembredelan. Bahkan dari aspek kepemilikan modal (capital ownership), negara pun sangat sedikit dan bahkan tidak mempunyai sama sekali. Lalu, bagaimana media massa yang sebenarnya terlepas dari rengkuhan campur tangan negara bisa begitu saja tunduk pada kekuasaan negara?

Referensi Utama
Althusser, Louis (1994). “Ideology and Ideological State Apparatus” dalam Storey, John [ed]. Cultural Theory and Popular Culture, A Reader. Hertfordshire, Harvester Wheatsheaf

Cultural Studies Sebagai Sebuah Pendekatan

Cultural Studies Sebagai Sebuah Pendekatan
terhadap Realitas Budaya

Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si

Saat ini cultural studies layaknya sebuah kajian yang begitu seksi, karena banyak orang yang menulis dengan pendekatan ini. Media massa juga tidak ketinggalan merayakan gegap gempita cultural studies, seperti Kompas melalui halaman Bentara dan Kompas Edisi Hari Minggu. Begitu juga kalangan cendikiawan dan budayawan, yang ramai-ramai menulis mengenai budaya melalui kaca mata cultural studies, seperti yang pergulatan mereka dalam Jurnal Kalam.
Cultural studies atau yang bisa kita terjemahkan sebagai kajian budaya pada awalnya berasal dari penelitian terhadap cara budaya dihasilkan lewat sebuah perjuangan ideologi-ideologi yang dilakukan oleh para peneliti di Center for Contemporary Cultural Studies di Universitas Birmingham, Inggris. Generasi awal para peneliti ini adalah Richard Hoggart dan Raymond Williams yang di tahun 1950-an meneliti mengenai kehidupan sosial dan budaya kelas pekerja Inggris setelah PD II. Karena berasal dari Kota Birmingham, pemikiran mereka kemudian populer juga dengan nama Birmingham School (Mahzab Birmingham).
Para peneliti dari Mahzab Birmingham berusaha melakukan praksis dengan pendekatan yang mereka gunakan, dengan kata lain mereka memandang keilmuan mereka sebagai suatu instrumen bagi perjuangan budaya. Mereka meyakini bahwa perubahan semacam itu akan terjadi dalam dua cara, yaitu: pertama dengan mengidentifikasi kontradiksi dalam masyarakat, di mana resolusinya akan mengarah pada hal yang positif, yang berlawanan dengan resolusi yang apresif dan juga perubahan ; dan kedua, dengan memberikan interpretasi yang akan membantu masyarakat memahami dominasi dan jenis perubahan yang diinginkan. Samud Beeker mendiskripsikan tujuan yang hendak mereka capai adalah memberikan pukulan keras balik pada khalayak melalui media agar tidak menjadi terlalu mudah menerima dengan ilusi atau praktik-praktik media yang ada karena isi media dianggap hanya membawa kesadaran palsu (false consciousness). Kajian komunikasi massa kemudian menjadi isu sentral dalam riset yang mereka lakukan, karena media dianggap sebagai alat yang efektif dari ideologi yang dominan (dominant ideology).
Bagi mereka media sebenarnya memiliki potensi untuk meningkatkan kesadaran penduduk tentang isu-isu kelas, kekuasaan dan dominasi. Media dianggap sebagai arena pertarungan (site of strunggle) dari berbagai kelas yang ada, baik kelas dominan maupun subordinat. Memang media merupakan kajian utama dari tradisi ini, tetapi media bukanlah satu-satunya pusat perhatian para ilmuwan Mahzab Birmingham, sehingga inilah alasan mereka mengacu bidang kajian mereka sebagai “cultural studies” atau “kajian budaya”, bukan kajian media (media studies).
Apa yang dimaksudkan dengan budaya dalam cultural studies ? Ada dua definisi yang setidaknya dapat diberikan terhadap konsep ini. Pertama adalah ide umum di mana masyarakat atau kelompok memahami ideologinya, atau cara-cara kolektif yang digunakan suatu kelompok untuk memahami pengalamannya. Kedua, budaya dimengerti sebagai praktek-praktek atau keseluruhan cara hidup suatu kelompok apa yang dilakukan individu secara material dari hari ke hari. Dua jenis pengertian budaya ini tidak bisa benar-benar dipisahkan, karena ideologi suatu kelompok dihasilkan dan direproduksi dalam praktek-praktek ideologi tersebut. Pada kenyataaannya, perhatian umum dari teoritikus budaya merupakan gabungan antara tindakan institusi masyarakat seperti media dari budaya. Praktek dan ide selalu berjalan seiring dalam suatu konteks historis.
Misalnya, ketika orang melihat televisi setiap hari. Semua industri pertelevisian merupakan suatu produk budaya karena merupakan alat untuk mencipta, membantah, memproduksi dan merubah budaya. Praktek kongkrit atau material yang terdapat dalam pemroduksian dan pengkonsumsian TV merupakan mekanisme krusial dalam pembentukan ideologi.
Pemahaman yang “dibagikan” ini merupakan sebuah ideologi yang ditentukan oleh sejumlah pengaruh yang seringkali nyata yang timbul secara bersamaan dan membuat pengalaman umum tampak sebagai pengalaman nyata bagi kita. Dalam kajian budaya, proses pemahaman realitas ini ditimbulkan oleh banyak sumber ini dinamakan sebagai artikulasi (articulation). Pengalaman kita yang “terbagi” ini kelihatan menjadi nyata dikarenakan adanya artikulasi diantara beberapa sumber verifikasi.
Dikarenakan oleh adanya artikulasi, maka tidak seluruh ideologi berada dalam wilayah pijakan yang sama dalam masyarakat. Misalnya dalam pemikiran mahzab kritis yang menyatakan bahwa dalam masyarakat kapitalis terjadi dominasi oleh suatu ideologi yang dikuasai oleh elit industi budaya. Di mata kelas pekerja, ideologi dominan merupakan kesalahan karena ia tidak merefleksikan kepentingan mereka atau yang juga biasa dikenal sebagai false conciousness. Di sinilah terjadi apa yang dinamakan sebagai hegemoni. Hegemoni selalu menjadi suatu proses yang cair, yang oleh Stuart Hall dengan memakai pemikiran Antonio Gramsi, disebut sebagai kondisi temporer dalam “pentas pertempuran” (site of strunggle). Sehingga dalam kajian budaya, masyarakat kemudian dipahami sebagai sebuah formasi kompleks, yang selalu memerlukan kontradiksi, dan juga selalu bersifat historis secara khusus.
Iklan produk pemutih yang banyak ditayangkan di layar kaca merupakan contoh yang jelas untuk menganalisis hal ini. Iklan produk ini telah mampu mengubah konstruksi sosial kulit perempuan yang ideal, dari kulit kuning langsat menjadi kulit yang putih, sebagaimana iklan kosmetika Citra merepresentasikan hal ini. Tujuan utama kajian budaya kemudian adalah untuk mengekplorasi bagaimana cara ideologi yang berasal kelas-kelas berkuasa mampu bertahan dan hidup tanpa disadari. Dan cara-cara ideologis tersebut bisa terus mengacaukan sistem kekuasaan (power) yang eksis. Kulit kuning langsat misalnya, sudah tidak lagi menjadi wacana dominan, kerena sudah tergantikan dengan representasi kulit putih sebagai kulit ideal.
Berbagai acara televisi yang lain juga tidak luput dari beragam muatan ideologis yang berada di dalamnya. Infotainment misalnya, selalu dibawakan oleh pembawa acara perempuan, jarang sekali dipandu oleh laki-laki. Padahal sudah menjadi rahasia publik bahwa jenis tayangan ini lebih sering mengekspos wilayah privat, sehingga representasi yang terbangun dari tayangan ini adalah perempuan lebih pantas mengurusi wilayah privat. Representasi ini tentu saja dengan mudah dapat kita kaitkan dengan ideologi patriarki yang masih kuat mencengkram. Ujung-ujungnya patriarkhi masih saja terus mampu bertahan dengan salah satunya melalui mekanisme representasi perempuan sebagai pembawa acara infotainment.

Referensi Utama

Littlejohn, Stephen W. (1996). Theories of Human Communication, 5th Edition. Belmont, Wadsworth Publising Company. Chapter 11 hal. 234 – 236

Storey, John. 1993. An Introductionary Guide to Popular Culture dan Critical Theory. Herdfoshire : Harvester Wheatsheaf