Wednesday, February 16, 2005

Ideology and Ideological States Apparatus

Ideology and Ideological States Apparatus
Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si

Apa itu ideologi? Pertanyaan yang kelihatan singkat dan sederhana ini akan coba diurai dengan pemikiran Louis Althusser, seorang pemikir strukturalis Prancis yang cukup berpengaruh di masanya, bahkan gaung pemikiran intelektualnya masih bergema sampai saat ini.
Untuk mengkaji ideologi , Althusser memperkenalkan dua istilah kunci yaitu Ideological State Apparatus (ISA) dan Repressive State Apparatus (RSA). Dalam terminologi marxian, aparat negara yang represif (State Apparatus) terdiri dari pemerintah, tentara, polisi, birokrasi, pengadilan, penjara dsb. Inilah yang oleh Althusser kemudian dinamakan sebagai RSA. RSA menjalankan fungsinya melalui kekerasan (by violence), baik dalam bentuk kekerasan fisik maupun non fisik.
Sedangkan ISA menjalankan fungsinya secara ideologis (by ideology ). Pada titik inilah terlihat secara jelas perbedaan antara ISA dan RSA. Karena itu ISA tidak bisa disamarkan dengan RSA. Secara lebih jelas Althusser memaparkan hal ini dengan beberapa alasan yaitu bahwa, pertama, hanya ada satu RSA, namun pada sisi yang lain terdapat pluralitas ISA. Kedua, RSA bergerak terbatas ada wilayah publik, sedangkan ISA dapat bergerak ke wilayah privat, seperti melalui lembaga agama, keluarga, sekolah, media massa dsb.
Memang, RSA dapat menjalankan fungsinya baik melalui kekerasan maupun ideologi , tetapi RSA berfungsi secara massif dan didominasi dengan kekerasan. Artinya memang tidak ada RSA yang benar-benar menjalankan fungsinya hanya melalui kekerasan semata, misalnya polisi atau militer yang juga berfungsi secara ideologis untuk menanamkan aturan untuk menjaga stabilitas. Namun hal ini tidak dapat disebut sebagai ISA karena dalam ISA, fungsi primernya adalah secara ideologis baru kemudian secara sekunder melalui kekerasan. Bagi Althusser tidak ada kelas dalam masyarakat yang dapat memegang kekuasaan tanpa melakukan hegemoni dan menjalankan ISA.
Kembali pada pertanyaan awal, apa sebenarnya yang dinamakan sebagai ideologi ? Ada dua tesis dari Althusser untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, ideologi menghadirkan imaginary relationship antara individu dengan eksistensi kondisi realitasnya, seperti yang dikenal sebagai ideologi agama, ideologi etika, ideologi hukum, ideologi politik dsb. Tesis ini memperoleh satu pertanyaan menarik yaitu mengapa manusia memerlukan imaginary relationship? Menurut Feurbach dan kemudian dikembangkan oleh Marx, hal inilah yang dinamakan sebagai alienasi (keterasingan) manusia dari realitasnya.
Tesis kedua,ideologi mempunyai eksistensi material. Ideologi tidak dapat dibatasi sebagai ide semata, namun ia memiliki aspek material yang berupa aparat yang menjalankannya dan praktik ideologi bersangkutan dalam realitas kehidupan.
Dari kekompakan kerja antara RSA dan ISA inilah yang menjadikan individu-individu seakan-akan takluk begitu saja di hadapan kekuasaan negara. Dari sinilah kemudian Althusser mendefinisikan ideologi dalam dua tesis utama, sebagimana telah disinggung di atas yaitu: Pertama, ideologi merepresentasikan secara imajiner hubungan antara individu-individu dengan kondisi eksistensinya yang real. Kedua, ideologi bukanlah semata-mata gagasan, namun juga memiliki keberadaannya secara material. Akhirnya, ideologi menempatkan individu sebagai subyek tertentu dalam masyarakat. Cara bekerja dari ideologi ini adalah dengan melakukan interpelasi (pemanggilan) di mana individu yang merasa namanya disebut secara otomatis akan menoleh ke arah kekuatan (negara) yang memanggil tadi.
Apabila kita mencoba menggabungkan gagasan Gramsci dan Althusser maka media massa serta kalangan jurnalis yang bekerja di dalamnya termasuk dalam lingkup masyarakat sipil dan ISA. Ini disebabkan media massa tidaklah berfungsi dengan cara-cara penindasan secara fisik, melainkan dengan menyebarkan gagasan-gagasan dominan yang diproduksi oleh kelas yang dominan yang sedang menguasai negara. Persoalannya adalah media massa yang sekarang ini ada kebanyakan dimiliki oleh pihak swasta. Ini berarti negara sangat sedikit memiliki peluang untuk melakukan campur tangan terhadap aktivitas yang dilakukan oleh media massa, baik dari segi permodalan maupun perizinan serta pembredelan. Bahkan dari aspek kepemilikan modal (capital ownership), negara pun sangat sedikit dan bahkan tidak mempunyai sama sekali. Lalu, bagaimana media massa yang sebenarnya terlepas dari rengkuhan campur tangan negara bisa begitu saja tunduk pada kekuasaan negara?

Referensi Utama
Althusser, Louis (1994). “Ideology and Ideological State Apparatus” dalam Storey, John [ed]. Cultural Theory and Popular Culture, A Reader. Hertfordshire, Harvester Wheatsheaf

0 Comments:

Post a Comment

<< Home