Wednesday, February 16, 2005

Lima Genre Utama Teori Media Kritis

Lima Genre Utama Teori Media Kritis
Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si

Setidaknya ada lima genre utama dari teori media kritis, sebagaimana yang dikemukakan oleh para peneliti ilmu komunikasi seperti pendapat Dennis McQuail. Pertama adalah pendekatan Marxisme klasik. Di dalam pendekatan ini, media dilihat sebagai alat dari kelas yang dominan untuk mempertahankan status quo yang dipegangnya dan sebagai sarana kelas pemilik modal berusaha melipatgandakan modalnya. Media tentu saja dalam hal ini selalu menyebarkan ideologi dari kelas yang berkuasa dalam masyarakat dan maka dari itu menekan kelas-kelas tertentu. Sebagaimana dikatakan oleh Marx dan Engels
The ideas of the ruling class are in every epoch the ruling ideas, i.e. the class which is the ruling material force of society, is at the same time its ruling intellectual force. The class which has the means of material production at its disposal, has control at the same time over the means of mental production, so that thereby, generally speaking, the ideas who lack the means of mental production aresubject of it (Marx and Engels dalam Storey [ed],1995 : 196).

Kedua adalah teori ekonomi-politik media (political economy media theory). Menurut Vincent Moscow dalam bukunya The Political Economy of Communication (1998), pendekatan dengan teori ini pada intinya berpijak pada pengertian ekonomi politik sebagai studi mengenai relasi sosial, khususnya yang menyangkut relasi kekuasaan, baik dalam produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya (resourches). Dalam ekonomi politik komunikasi, sumber daya ini dapat berupa surat kabar, majalah, buku, kaset, film, internet dan sebagainya (Mosco, 1998 : 25). Seperti teori Marxisme Klasik, teori ini menganggap bahwa kepemilikan media pada segelintir elit pengusaha telah menyebabkan patologi atau penyakit sosial. Dalam pemikiran ini, kandungan media adalah komoditas yang dijual di pasar, dan informasi yang disebarluaskan dikendalikan oleh apa yang pasar akan tanggung. Sistem ini membawa implikasi mekanisme pasar yang tidak ambil resiko, suatu bentuk mekanisme pasar yang kejam karena membuat media tertentu mendominasi wacana publik dan lainnya terpinggirkan. Beberapa realitas kontemporer di dalam media menjadikan kajian ekonomi-politik menjadi penting (McQuail, 2002:83). Pertama, pertumbuhan konsentrasi kepemilikan media di tangan segelintir orang saja, seperti Media Citra Nusantara yang menguasai bisnis televisi di Indonesia melalui RCTI, TPI dan Global TV.
Kedua, perkembangan global ekonomi-informasi (information economy) yang melibatkan bisnis telekomunikasi, film dan penyiaran seperti yang terjadi di Amerika Serikat di sekitar masa peralihan milenium. Agar tetap eksis, tak ada jalan lain bagi para pengusaha film selain menurunkan egonya dan mulai ikut-ikutan memproduksi film-film televisi, serial atau lepas. Di puncak simbiosis, konglomerat film dan hiburan seperti
Warner, Paramount, Fox, dan Disney memutuskan untuk melakukan langkah
agresif dalam perluasan konglomerasi investasinya di dunia penyiaran, dengan membeli stasiun-stasiun televisi terkemuka yang ada di Amerika dengan dana yang tidak kecil. Dalam keputusan itu, Disney membeli ABC, Viacom mengambil alih CBS, dan belakangan Warner setelah merger dengan konglomerat media Time dan
American Online (AOL) mengakuisisi CNN. Di pihak lain, konglomerat film
20th Century Fox, setelah mendapat limpahan dana investasi dari Rupert
Murdoch yang juga memiliki MTV, membuat Fox TV.
Ketiga, turunnya peran sektor publik di dalam media massa dan juga merosotnya kontrol publik dalam telekomunikasi melalui paket kebijakan deregulasi, privatisasi dan liberalisasi. Penjualan saham Indosat di tahun 2003-2004 kepada Singtel, Singapura adalah bukti nyata dari hal ini. Keempat adalah kepemilikan silang (cross ownership) yang semakin mendominasi pasar. Di Indonesia, Kelompok Kompas Gramedia dan Jawa Pos Grup merupakan dua konglomerasi yang memiliki berbagai lini usaha media, seperti koran, tabloid, majalah dan televisi.
Genre ketiga adalah Mahzab Frankfurt (the Frankfurt School) yang menggabungkan pemikiran Marx muda, psikoanalisis, dan hermenuitika. Pada awalnya mahzab ini dibangun oleh Max Horkheimer untuk mengkaji realitas kontemporer masyarakat Eropa, namun setelah Nazi berkuasa para pemikir mahzab ini banyak yang mengungsi ke Amerika Serikat. Selain Horkheimer, tokoh-tokoh aliran ini adalah Theodore W. Adorno, Herbert Marcuse, Erich Fromm dan terakhir adalah Jurgen Habermas. Pokok pemikiran ini dalam studi media adalah media sebagai sarana pembangunan budaya. Dalam cara pikir ini, media membimbing kepada dominasi ideologi dari elite industri budaya (culture industries). Hasilnya adalah dilaksanakan oleh manipulasi image media dan simbol-simbol untuk menguntungkan kepentingan kelas yang dominan. Budaya massa yang lahir dari komunikasi massa menurut mereka adalah bentuk budaya yang afirmatif yang ditandai dengan adanya komodifikasi, massifikasi dan standarisasi. Massifikasi dan standarisasi dalam budaya massa terjadi sebagai akibat dari proses produksi yang massif, sedangkan komodifikasi berarti peralihan nilai guna (use vale) komoditas ke dalam nilai tukar (exchange value) atau bahkan nilai tanda (sign value) semata.
Genre yang keempat adalah teori hegemoni yang diutarakan oleh Antonio Gramsci, seorang pemikir Italia yang menghasilkan karya besarnya saat dikurung dalam penjara oleh pemerintahan Mussolini. Hegemoni adalah dapat diartikan sebagai suatu kondisi di mana kelas yang berkuasa mampu mengadakan kepemimpinan moral dan intelektual (moral and intellectual leadership). Ini yang membedakan hegemoni dan dominasi, di mana jika hegemoni berlangsung secara ideologis (by ideology), maka di sisi yang berbeda dominasi berjalan melalui kekerasan (by violence). Ideologi dalam pandangan Gramsci tidak hanya dilandasi oleh sistem ekonomi saja namun tertanam secara dalam dalam semua aktifitas masyarakat. Sehingga, ideologi berartikulasi dalam kehidupan dengan tidak dipaksakan oleh satu kelompok namun adalah menembus dan di luar kesadaran. Lalu, apa sebenarnya yang dinamakan sebagai ideologi? Pertanyaan yang kelihatan singkat dan sederhana ini akan coba diurai dengan pemikiran Louis Althusser, seorang pemikir strukturalis Prancis yang cukup berpengaruh di masanya dengan banyak menggunakan pemikiran Gramsci dalam kajianya. Gaung pemikiran Althusser yang sempat menjadi trend pemikiran di tahun 1960-an masih bergema sampai saat ini.
Untuk mengkaji ideologi , Althusser memperkenalkan dua istilah kunci yaitu Ideological State Apparatus (ISA) dan Repressive State Apparatus (RSA). Dalam terminologi marxian, aparat negara yang represif (State Apparatus) terdiri dari pemerintah, tentara, polisi, birokrasi, pengadilan, penjara dsb. Inilah yang oleh Althusser kemudian dinamakan sebagai RSA. RSA menjalankan fungsinya melalui kekerasan (by violence), baik dalam bentuk kekerasan fisik maupun non fisik.
Sedangkan ISA menjalankan fungsinya secara ideologis (by ideology ). Pada titik inilah terlihat secara jelas perbedaan antara ISA dan RSA. Karena itu ISA tidak bisa disamarkan dengan RSA. Secara lebih jelas Althusser memaparkan hal ini dengan beberapa alasan yaitu bahwa, pertama, hanya ada satu RSA, namun pada sisi yang lain terdapat pluralitas ISA. Kedua, RSA bergerak terbatas ada wilayah publik, sedangkan ISA dapat bergerak ke wilayah privat, seperti melalui lembaga agama, keluarga, sekolah, media massa dsb.
Memang, RSA dapat menjalankan fungsinya baik melalui kekerasan maupun ideologi , tetapi RSA berfungsi secara massif dan didominasi dengan kekerasan. Artinya memang tidak ada RSA yang benar-benar menjalankan fungsinya hanya melalui kekerasan semata, misalnya polisi atau militer yang juga berfungsi secara ideologis untuk menanamkan aturan untuk menjaga stabilitas. Namun hal ini tidak dapat disebut sebagai ISA karena dalam ISA, fungsi primernya adalah secara ideologis baru kemudian secara sekunder melalui kekerasan. Bagi Althusser tidak ada kelas dalam masyarakat yang dapat memegang kekuasaan tanpa melakukan hegemoni dan menjalankan ISA.
Kembali pada pertanyaan awal, apa sebenarnya yang dinamakan sebagai ideologi ? Ada dua tesis dari Althusser untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, ideologi menghadirkan imaginary relationship antara individu dengan eksistensi kondisi realitasnya, seperti yang dikenal sebagai ideologi agama, ideologi etika, ideologi hukum, ideologi politik dsb. Tesis ini memperoleh satu pertanyaan menarik yaitu mengapa manusia memerlukan imaginary relationship? Menurut Feurbach dan kemudian dikembangkan oleh Marx, hal inilah yang dinamakan sebagai alienasi (keterasingan) manusia dari realitasnya.
Tesis kedua,ideologi mempunyai eksistensi material. Ideologi tidak dapat dibatasi sebagai ide semata, namun ia memiliki aspek material yang berupa aparat yang menjalankannya dan praktik ideologi bersangkutan dalam realitas kehidupan.
Dari kekompakan kerja antara RSA dan ISA inilah yang menjadikan individu-individu seakan-akan takluk begitu saja di hadapan kekuasaan negara. Dari sinilah kemudian Althusser mendefinisikan ideologi dalam dua tesis utama, sebagimana telah disinggung di atas yaitu: Pertama, ideologi merepresentasikan secara imajiner relasi antara individu-individu dengan kondisi eksistensinya yang nyata. Kedua, ideologi tidak dapat dipahami semata-mata sebagai sebuah gagasan, namun juga memiliki keberadaannya secara material. Akhirnya, ideologi menempatkan individu sebagai subyek tertentu dalam masyarakat. Cara bekerja dari ideologi ini adalah dengan melakukan interpelasi (pemanggilan) di mana individu yang merasa namanya disebut secara otomatis akan menoleh ke arah kekuatan (negara) yang memanggil tadi.
Apabila kita mencoba menggabungkan gagasan Gramsci dan Althusser maka media massa dan individu-individu yang bekerja di dalamnya termasuk dalam lingkup masyarakat sipil dan ISA. Ini disebabkan media massa tidaklah berfungsi dengan cara-cara penindasan secara fisik, melainkan dengan menyebarkan gagasan-gagasan dominan yang diproduksi oleh kelas yang dominan yang sedang menguasai negara.
Pendekatan terakhir pada studi media marxist adalah pendekatan sosiokultural, biasanya disebut sebagai cultural studies atau yang bisa diterjemahkan sebagai studi budaya. Pemikiran dalam studi budaya banyak memanfaatkan semiotika yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure dan Roland Barthes untuk mengkaji realitas melalui kajian yang dilakukan oleh Raymond Williams, Stuart Hall dan kawan-kawan dari Centre for Cotemporary Cultural Studies di Birmingham University, Inggris. Karena berasal dari Birmingham, pemikiran ini juga disebut sebagai Birmingham School. Mereka tertarik dengan makna kultural dari produk media, melihat kepada cara isi media diinterpretasikan, termasuk di dalamnya yaitu interpretasi dominan dan opposisional.
Studi budaya melihat masyarakat sebagai bidang kompetisi ide-ide dalam pertarungan antarmakna (site of strunggle). Misalnya, film-film Hollywood yang nyaris selalu menampilkan pahlawan (protagonis) dari kalangan WASP (white, anglo-saxon and protestant), dan secara oposisi biner (binary oposition) merepresentasikan kulit hitam, Asia, Arab dan Latin sebagai ”yang lain” (the other) yang jahat dan tidak berperadaban. Film ”Rambo I” misalnya, menampilkan Rambo sebagai representasi WASP yang datang melawan tentara Viet cong yang dibantu Uni Sovyet yang bengis terhadap tawanan perang (prisoner of war). ”Iron Eagle IV” menggambarkan seorang anak muda Amerika yang membebaskan ayahnya yang ditawan tentara dari sebuah rezim antah berantah di Daratan Arab yang bengis yang dipimpin oleh diktator yang direpresentasikan mirip dengan Saddam Hussein.
Dalam studi budaya, kata kunci yang sering digunakan adalah artikulasi, yang oleh artikulasi inilah ideologi memiliki kedudukan yang berbeda-beda di masyarakat. Artikulasi dipahami sebagai proses pemahaman realitas yang ditimbulkan oleh banyak sumber. Pengalaman kita yang “terbagi” ini tampak nyata dikarenakan adanya koneksi atau artikulasi diantara beberapa sumber verifikasi.
Musik punk misalnya, pada mulanya musik ini tumbuh berkembang terutama di Inggris dan kemudian baru berlanjut di Amerika, sebagai bentuk pemberontakan generasi muda terhadap musik rock yang dianggap telah ”mati”, karena tidak lagi mampu menyuarakan pemberontakan kaum muda terhadap kemapanan. Namun, pada perkembangannya musik punk, tidak lagi semata-mata berartikulasi sebagai media perlawanan anak muda namun juga mengalami pencaplokan (incorporation) yang dilakukan oleh kemapanan yang mereka lawan. Buktinya, banyak band punk seperti Ramones dan Rancid menikmati ketenaran dengan menjadi bagian major label. Uniknya walaupun sudah menjadi bagian dari sistem mereka masih menyuarakan perlawanan dalam lirik lagu mereka.

3 Comments:

Blogger Arman Dhani Bustomi said...

mungkin benar apa yang anda katakan, tetapi jika kita lihat melalui kacamata masyarakay indonesia kebanyakan. apakah mungkin hal yang anda tulis itu sesuai?

1:31 AM

 
Blogger Iim Rohimah said...

teori ini sangat membantu dalam mengkaji media, dan mengenalkan teori dari para pakar teoritis secara sederhana. Thanks referensinya agan...
Penting menyesuaikan teori di atas dengan kondisi masyarakat kita,tapi teori ini juga penting dalam rangka mengkaji dan kritis terhadap derasnya arus pengaruh media. Saya kira relevan dengan situasi media di Indonesia.

12:46 PM

 
Blogger Iim Rohimah said...

salam Kenal Agan www.sebelasmeter.com

cpns-lowongankerja2015.blogspot.com

12:48 PM

 

Post a Comment

<< Home