Tuesday, May 17, 2005

Mengenal Strukturalisme, Memahami Levi-Strauss, Membaca Mitos Modern

Oleh Fajar Junaedi S.Sos, M.Si *

Sebelum memasuki alam pemikiran Jean Claude Levi-Strauss ada baiknya kita menengok ke generasi awal alam pemikiran strukturalisme yang selama ini dianggap banyak berhutang pada pemikiran Levi-Strauss, dan bahkan ia dianggap sebagai pelanjut strukturalisme yang telah dirintis oleh Ferdinand de Saussure. Kata “struktur” yang menjadi kata dasar dari strukturalisme dapat dengan mudah kita pahami dengan memakai semiotika (semiotics) atau semiologi (semiology) yang dikembangkan secara brilian oleh Saussure. Semiotika sendiri ada awalnya diterapkan pada kebahasaan dan serempak pula merupakan pendekatan struktural tentang bahasa.
Semiotika secara terminologi berasal dari bahasa Yunani yaitu semieon, yang berarti tanda. Dalam semiotika ada beberapa aturan pokok yang mengatur sistem tanda bahasa, sehingga dari sinilah kemudian lahir strukturalisme. Pertama, menurut Saussure, sebuah tanda khususnya tanda kebahasaan, merupakan entitas psikologis yang bersisi dua atau berdwimuka, terdiri dari unsur penanda (signifier) dan petanda (signified). Kedua elemen tanda-tanda itu sungguh-sungguh menyatu dan saling tergantung satu sama lain. Kombinasi dari keduanya inilah yang kemudian menghasilkan tanda (sign).
Relasi antara penanda dengan petanda terjadi begitu saja dan arbitrer. Karena itu kita perlu mengetahui kode-kode yang menyatakan kepada kita apa yang dimaknakan oleh tanda-tanda. Kode (code) adalah satu sitem dari konvensi-konvensi yang memungkinkan kepada seseorang untuk mendeteksi arti dalam tanda-tanda karena hubungan (Berger, 2000 : 219 ).
Kedua adalah langue dan parole. Langue dapat diartikan sebagai penggunaan tanda bahasa secara umum atau oleh publik yang menyepakatinya, sedangkan parole adalah pemakaian tanda bahasa di tangan individu. Inilah yang membedakan kajian strukturalisme yang dikembangkan oleh Saussure dengan pendekatan linguistic yang lain, di mana pendekatan linguistic yang lain hanya berhenti pada tataran langue (Bertens, 2001 : 182). Saussure mengilustrasikan relasi keduanya dengan memakai permainan catur sebagai sebuah contoh. Kuda dalam permainan catur memiliki gerak berbentuk huruf “L”. Ini dapat dianggap sebagai parole dari sebuah sistem struktur. Individu yang bermain catur bebas untuk menggerakan kuda dalam bentuk huruf “L” baik ke kiri, ke kanan, ke depan atau ke belakang. Yang penting masih dalam bentuk huruf “L”. Ini dapat dianggap sebagai parole. Yang perlu diingat kebebasan menggerakan kuda ini terstruktur dalam huruf “L” dan tidak boleh keluar dari aturan ini karena jika bergerak selain gerak “L” maka hancurlah struktur permainan catur.
Tahap abstraksi yang secara umum terdapat dalam studi semiotika adalah kajian sintaksis atau sintagmatik, yang kemudian dilanjutkan dengan kajian semantik dan pragmatis. Kajian sintaksis menurut Morris merupakan sub bagian dari semiotika yang mempelajari kaidah – kaidah yang mengendalikan tuturan dan interpretasi. Sehingga sintaksis berusaha mengkaji hubungan tanda-tanda dan bagaimana cara mereka bekerja sama untuk menjalankan fungsinya.
Selanjutnya menurut Morris, semantik merupakan aspek semiotika yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda dan obyek yang diacunya atau makna tanda-tanda sebelum digunakan di dalam tuturan tertentu (Budiman, 1999 : 107). Dengan demikian semantik berusaha mengungkapkan hubungan tanda-tanda dengan acuannya dan dengan interpretasi yang dihasilkan. Sedangkan kajian pragmatis atau paradigmatik mementingkan pada hubungan tanda-tanda dengan interpreternya, baik pengirim maupun penerima tanda bahasa (Budiman, 1999 : 95).
Kemudian dengan analisis pragmatis dapat diketahui pola oposisi yang terdapat dalam teks. Oposisi yang digunakan adalah pola oposisi biner (binary opposition) yang menjadi basis dari penciptaan oposisi dalam bahasa (Berger, 2000 :17).
Di tangan Levi-Strauss, strukturalisme berkembang dengan mengagumkan dan sempat menjadi trend of thought di Perancis, dan bahkan Eropa di tahun 1960-an bersama pemikiran strukturalisme yang dikembangkan oleh Louis Althusser. Tidak mengherankan jika kemudian ia mendapat julukan sebagai Bapak Strukturalisme Perancis.
Bagi Levi-Strauss analisis sintagmatik pada teks memperlihatkan makna yang manifest (nyata-nampak) dan analisis paradigmatic teks akan mampu membongkar makna yang laten (tersembunyi) di balik teks. Struktur yang nampak dari teks terdiri dari apa yang ada dalam teks, sedangkan struktur laten berisi teks tersebut berbicara apa. Dengan bahasa yang lain, tatkala kita menggunakan pendekatan paradigmatik, kita sebagai pembaca tidak terlalu menaruh perhatian dengan apa yang dikerjakan oleh karakter dalam teks, tetapi lebih pada apa yang dimaksudkan oleh teks tersebut.
Dalam biografinya, Levi-Strauss mengungkapkan ada tiga guru yang mempengaruhi alam pemikiran yang dikembangkannya, yaitu filsafat Karl Marx, psikoanalisis Sigmud Freud dan ilmu geologi. ia mencoba menerapkan proyek strukturalismenya ke dalam antropologi. Fonologi, yang menjadi penanda khas pemikirannya, terutama ditandai dengan tiga ciri yang kesemuanya dapat dimanfaatkan dalam ilmu antropologi. Pertama, sebagaimana bahasa seluruhnya merupakan sistem tanda tanda, demikian pula dengan unsur-unsur bahasa yang disebut fonem-fonem merupakan suatu sistem yang terdiri dari relasi-relasi dan oposisi-oposisi. Inilah yang kemudian dikenal dalam strukturalisme sebagai oposisi biner, seperti alami/budaya, hitam/putih, laki-laki/perempuan dan sebagainya. Kedua, sistem itu harus dipelajari secara sinkronis sebelum orang memahami secara diakronis. Ketiga, hukum-hukum linguistik memperlihatkan suatu tahap tak sadar (unconscious). Hukum-hukum tata bahasa umpamanya diterapkan orang tanpa ragu-ragu. Padahal orang tidak mengenal hukum-hukum itu secara sadar (Bertens, 2001 : 193).
Sumbangan pemikirannya yang terkenal adalah berkaitan dengan mitologi. Dalam usahanya melakukan interpretasi terhadap mitos , Levi-Strauss membedakan unsur-unsur elementer dalam setiap mitos. Unsur elementer yang dinamakannya sebagai mythemme (mitem/katakanlah). Dalam mitos mengenai oidipus, sebuah mitos yang mengilhami Freud dalam menelurkan istilah oidipus complex, dijelaskan oleh Levi-Strauss sebagai berikut. Bahwa oidipus membunuh ayahnya, boleh dianggap sebagai suatu mitem tersendiri. Dan bahwa kemudian oidipus menikahi ibunya merupakan mitem yang lain. Interpretasi berlangsung dengan merelasikan berbagai hubungan dan oposisi-oposisi antara unsur-unsur elementer tersebut. Dalam hal ini ditekankan olehnya bahwa dalam melakukan pembacaan terhadap mitos tidak hanya boleh dibaca seperti saat kita membaca buku, dari kiri ke kanan, tetapi harus dibaca juga dari atas ke bawah (Bertens, 2001 : 200).
Pengaruh pemikiran Levi-Strauss ternyata bukan hanya bergaung di Eropa daratan saja, melainkan berpengaruh luas di dalam tradisi Anglo-Saxon termasuk di Amerika Serikat. Dengan memakai strukturalisme Levi-Strauss, Will Wright menggambarkan narasi yang dibangun artefak budaya Amerika Serikat dalam struktur oposisi biner sebagai berikut,
Inside Society Vs Outside Society
Good Vs Bad
Strong Vs Weak
Civilizations Vs Wilderness

(Dikutip dari Storey, 1993 : 74).

Narasi yang demikian dapat dengan mudah kita jumpai dalam berbagai film Hollywood yang selalu menggambarkan Dunia Timur sebagai “yang lain” (the other) atau outside society sedangkan masyarakat Barat sebagai inside society. Struktur demikian telah menjadi mitos modern dalam berbagai artefak budaya yang dihasilkan masyarakat Barat, termasuk yang paling mudah ditemui adalah representasi Dunia Timur ketika berhadapan Dunia Barat dalam film Hollywood. Rambo misalnya digambarkan sebagai seorang pahlawan yang baik hati dan kuat, sedangkan tentara Vietnam yang menjadi musuh Rambo direpresentasikan sebagai pihak yang jahat dan berperadaban.
Demikian pula ketika kita melakukan intertekstualitas (intertextuality), maka struktur demikian juga dapat ditemui dalam pemberitaan di media massa Barat yang selalu menggambarkan Dunia Timur sebagai teroris yang berperikemanusiaan ketika terlibat konflik dengan pihak Barat. Dengan memakai pendekatan Levi-Strauss, agaknya struktur yang demikian telah menjadi langue dalam mitos modern masyarakat Barat.

* Makalah dengan tema serupa pernah disajikan untuk Kajian Teori Sosial Strukturalisme (Studi Pemikiran Levi-Strauss) di Madrasah Intelektual Muhammadiyah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah AR Fakhrudin, Sabtu 16 April 2005.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home